Berpolitik dengan Ideologi Kebencian

Fakta news berita   Minggu, 4 Juli 2021

img

Berpolitik dengan ideologi kebencian apakah betul ideologi akan mati seperti ramalan daniel bell? sejauh ini orang percaya itu, dan mulai muncul partai tidak berdasar ideologi tetapi menawarkan program. Selain itu muncul kelompok yang didasarkan kepentingan yang bermetamorfosa menjadi partai politik, misalnya sarikat dagang islam, al irsyad, muhammadyah, serikat buruh, nahdatul ulama. Ideologi kebencian perkembangan berikutnya ada partai politik yang didasarkan pada identitas; entah itu suku, ras, agama, dan kedaerahan. Semua partai politik di atas adalah bagian dari struktur negara, memiliki kekuasaan legislatif, dan ditampung di parlemen.

Namun saat ini ada gerakan politik yang mengatasnamakan rakyat dan bertindak seperti super partai yang menyatakan bisa melakukan perubahan lebih dahsyat daripada partai politik. Gerakan ini tidak lagi ikut konstitusi karena bersifat ekstra konstitusional dan tidak perlu berada di parlemen karena menyatakan ekstra parlementer. Idiom-idiom mereka persis seperti bagaimana partai politik mengecam kebijakan pemerintah. Kalau partai politik ingin mengubah kebijakan, gerakan ini ingin mengubah kebijakan tapi dengan cara melengserkan presiden dan menggulingkan pemerintah.

Bukan hanya itu ,mereka juga siap dengan konstitusi yang lebih mengakomodasi kepentingannya. Lalu apa ideologi mereka sehingga banyak rakyat yang rela mendukung dan bersimpati. Kalau partai politik memiliki ideologi dan memberikan sesuatu kepada anggotanya, tetapi mereka hanya memanipulasi kekecewaan dan kebencian terhadap orang-orang yang dianggap menjadi sumber penderitaan. Ideologi mereka adalah kebencian (the ideology of hate) kata david brooks dalam tulisannya di new york times.

Kebencian lahir dari trauma gunawan mohammad di majalah tempo juga menulis esai berjudul “benci”. Dikatakan dalam adegan duel di film star wars vi (episode return of the jedi) kepada luke skywalker , darth vader berseru, “ luapkan kemarahanmu. Hanya kebencian yang dapat menghancurkan aku”. Darth vader memahami, kebencian adalah kekuatan dan kemarahan adalah tenaga.

Seperti inilah tokoh politik dunia berperilaku dari hitler sampai donlad trump, dari stalin sampai pemimpin isis, dari klu klux klan sampai polpot, dan dari pengawal merah sampai fpi. Mereka kobarkan rasa marah , mereka sebarluaskan rasa benci, dan mereka jadikan keduanya ideologi. Entah dari sini berapa kemenangan mereka rayakan dan berapa juta mayat bergelimpangan. Gerakan ini akan memilih pemimpin mereka yakni tokoh yang bisa memproduksi kebencian melalui orasi-orasinya, karena makin terakumulasi kebencian yang berujung pada kekerasan, kejatuhan pemerintah akan semakin dekat.

Gabor mate, dalam tulisan reza watimena, mengatakan akar dari kebencian adalah trauma. Penyebar kebencian tentu berpestapora di tengah masyarakat indonesia yang secara historis memang kaya dengan trauma-trauma sosial. Kebencian adalah narkoba kehidupan trauma adalah jejak masa lalu yang belum lenyap, misalnya penumpasan di/tii, prri/permesta, komando jihad dll. Selain itu trauma akibat ketidakadilan seperti dominasi suku jawa, dominasi cina, kecurangan akibat pemilu/pilpres, dan presiden yang suka mengakomodir lawan daripada relawan.

Kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi yang besar seperti di indonesia menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian. Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba kehidupan yang menghangatkan”, karenanya terus dipasok oleh penggerak politik yang berideologi kebencian itu. Kemarahan, kebencian, dan kekerasan atau pembunuhan adalah satu paket yang diperlukan bagi para pemberontak untuk menciptakan suasana amuk atau khaotik. Dylan roof membunuh 9 orang di gereja south carolina, alasannya membenci orang kulit hitam, kemudian karena benci pada orang yahudi ,robert browers membunuh 9 orang yahudi di pittsburg.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa ideologi kebencian juga merupakan bentuk ekstrim yang lebih luas yaitu ideologi antipluralisme yang kini merebak di mana-mana. Nasionalis trumpian, populisme otoriter, dan jihadis islam yang mendambakan negara khilafah adalah versi ideologi antipluralisme yang lain. Antipluralis menuntut perbatasan dan menciptakan dikotomi-dikotomi islam versus non-islam, wahabi versus islam nusantara, fanatisme agama versus sekulerisme, pribumi versus nonpribumi, islam versus nasionalis, jawa versus non-jawa, murni versus tidak murni dan seterusnya. Habib merasa lebih berhak paling mudah agama dijadikan alat untuk membangun kebencian, dengan kedok pemurnian ajaran.

Meluasnya islam yang beradaptasi dengan budaya lokal, kata mereka menciptakan kemungkaran dalam bentuk syirik, bid’ah, atheisme, dan materialisme. Inilah sasaran empuk yang dikembangkan kaum wahabi dan salafi untuk membenci dan memusuhi orang-orang mungkar termasuk yang berseberangan, yakni syiah dan ahmadyah. Taliban, wahabi, dan salafi merekrut sumberdaya manusia yang dilahirkan oleh madrasah-madrasah dari india bagian utara sampai timur tengah. Di indonesia kelompok ini membangun “madrasah instan” berupa pengajian-pengajian rutin di masyarakat.

Banyak ulama keturunan arab berkhotbah tentang pemurnian agama di pengajian-pengajian itu dan mulai mengubah mindset para jamaah yang semakin yakin agama akan menjamin kehidupan di dunia dan akherat. Ketika model gerakan dan pengajian ini meluas ke seluruh indonesia , muncul para habib yang mengklaim mereka lebih berhak untuk melakukan pemurnian agama. Gerakan para habib di indonesia yang sering bersimbiose dengan politik kekuasaan mulai menempatkan pengajian wahabi dan salafi di gerbong belakang mereka. Perpecahan dan kompetisi pun terjadi antara faksi-faksi ajaran yang disebar oleh ulama yang tidak jelas juntrungannya.

Perkawinan politik identitas dengan politik kebencian dalam kesempatan ini jaringan hti yang menyebarkan khilafah dan pelaksanaan syariat islam pada negara ikut nimbrung. Tokoh seperti habib riziek shihab ,yang sering dimanfaatkan oleh tentara dan polisi, bersedia jadi martir dalam gerakan politik oposisi akhirnya menjadi simbol perlawanan. Di sinilah terjadi pertemuan kepentingan antara politisi sekuler yang berpolitik berdasar identitas dan para pengguna ideologi kebencian. Politisasi agama pun terjadi ,penganut aliran wahabi dan salafi yang sudah tersebar di lembaga pemerintah yang menyusup melalui pengajian di mesjid-mesjid kantor pemerintah mulai membentuk jaringan di dalam.

Kelompok-kelompok dalam birokrasi kantor pemerintah mulai bermain dalam promosi dan badan pertimbangan jabatan dan kepangkatan (baperjakat). Inilah alasan mengapa pemerintah terpaksa memberlakukan test wawasan kebangsaan (twk) di lingkungan asn. Di negara demokrasi tentu kebebasan berpendapat dan berkumpul harus dihormati, termasuk mereka yang menjalankan politik dengan ideologi kebencian, selama tidak melanggar hukum. Media sosial tidak diberangus pemerintah, sehingga siapa saja bisa melakukan ujaran kebencian dengan leluasa.

Sialnya mereka bukan orang bodoh, punya daya manipulasi yang tinggi sampai-sampai kegagalan pencapaian target program pemerintah identik dengan penipuan dan kebohongan presiden. Buah dari jalan politik yang buntu tokoh-tokoh oposisi bisa bebas melontarkan sangat banyak ujaran kebencian, tapi ketika mendapat tindakan hukum, pemerintah dituduh otoriter. Dengan serangan kebencian di medsos yang dikombinasikan dengan demo-demo mereka berharap pemerintahan joko widodo akan jatuh sebelum 2024. Tetapi kalau kita sadar ,gerakan-gerakan mereka sebenarnya juga buah dari koridor politik yang buntu untuk menempuh jalan konstitusional.

Mendirikan partai politik dan menjadi kepala daerah membutuhkan modalitas yang sangat besar. Masuk menjadi anggota partai politik harus setor uang dan ikut antrian panjang. Mencalonkan presiden terhambat presidential threshold (pt). Di lain pihak politik akomodasi pemerintah salah sasaran.


Baca Juga

0  Komentar