Masalah Politik dalam Bisnis Negara

Koran Tempo   Rabu, 7 Juli 2021

img

Masalah politik dalam bisnis negara reza syawawi peneliti transparency international indonesia campur tangan politik dalam bisnis negara di indonesia lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Contohnya tampak dalam laporan terbaru corporate political engagement index (cpei) tahun 2021 yang dirilis transparency international indonesia (tii) baru-baru ini. Laporan itu mengungkap bagaimana relasi politik dalam bisnis badan usaha milik negara , khususnya melalui penyediaan listrik , mengandung kontradiksi. Di satu sisi, presiden joko widodo dinilai berhasil memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, tapi di sisi lain tersandera oleh kepentingan korporasi batu bara, yang dinilai menghambat penggunaan energi baru dan terbarukan.

Hal ini dapat dilihat dari rasio penggunaan batu bara dalam usaha pembangunan pembangkit listrik yang dominan, yakni 62,98 persen, sedangkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan hanya sekitar 11,4 persen (yazid & angelica, 2021). Setali tiga uang, tii dalam riset yang lain juga menemukan fakta awal mengenai penyelenggaraan badan usaha milik negara (bumn) yang mengkonfirmasi bahwa pengisian posisi strategis ( komisaris ) sangat dipengaruhi oleh faktor politik. Kompetensi agaknya tidak menjadi faktor utama dalam pengisian jabatan tersebut ( koran tempo , 11 mei 2021). Dalam riset lanjutannya, tii juga menemukan bahwa, dari 482 komisaris bumn yang diteliti hingga maret 2021, mayoritas diisi oleh kalangan non-profesional yang berasal dari birokrasi dan politikus.

Jika dikalkulasi, politikus yang menduduki jabatan komisaris bumn mayoritas diisi oleh relawan pendukung presiden, kemudian aktivis atau anggota partai politik dan organisasi massa (widoyoko, 2021). Hasil ini memperkuat temuan dari ombudsman ri pada 2020 yang melakukan profiling dalam kurun waktu 2017-2019 dan menelusuri rangkap jabatan komisaris di bumn. Temuan ombudsman menyimpulkan bahwa praktik tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan lemahnya aspek kompetensi dalam penunjukan komisaris. Konflik kepentingan dan pengawasan konflik kepentingan sebetulnya menjadi bumerang bagi sistem pengawasan dalam suatu institusi atau organisasi.

Pengawasan tidak akan bekerja secara optimal atau bahkan lumpuh jika ada kepentingan yang berlawanan. Kepentingan tersebut tentu tak hanya sebatas mempertentangkan kepentingan institusi dengan kepentingan individu atau pribadi, melainkan lebih luas dari itu adalah kepentingan dari dua institusi yang berbeda. Seorang birokrat pemerintahan yang ditempatkan sebagai komisaris bumn tentu berfungsi memberikan pengawasan yang memadai terhadap penyelenggaraan perusahaan. Namun, di sisi lain, dia memiliki tugas utama sebagai aparat sipil negara (asn).

Sekalipun rangkap jabatan semacam ini tidak dilarang, tapi secara substansial bertentangan dengan asas dan prinsip profesionalitas asn yang direkrut berdasarkan kompetensi tertentu. Yang lebih buruk lagi, praktik rangkap jabatan ini pada akhirnya akan mempengaruhi fungsi pengawasan terhadap bumn. Dalam banyak hal, bumn sering kali menjadi pihak yang mengerjakan proyek-proyek yang dibiayai oleh negara melalui anggaran kementerian/lembaga tertentu. Bagaimana mungkin pengawasan akan efektif terhadap pelaksanaan suatu proyek yang dikerjakan bumn tapi pengawasannya juga dilakukan oleh pihak yang memberikan pekerjaan? pada level yang lebih politis, profesionalitas akan dikorbankan ketika agenda pemerintah/kementerian tidak sejalan dengan kepentingan bumn sebagai sebuah korporasi.

Pada titik inilah konflik kepentingan terjadi, padahal asn dalam menjalankan fungsinya wajib menaati kode etik dan kode perilaku yang salah satunya menjaga agar tidak terjadi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugasnya (pasal 5 ayat 2 huruf h undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang asn). Pada sisi yang lain, ada persoalan baru yang muncul, yakni bagaimana menguji instrumen pengawasan terhadap asn yang melakukan praktik rangkap jabatan jika terjadi konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas gandanya tersebut? konflik kepentingan dan korupsi jamak dipahami bahwa masalah konflik kepentingan selalu mengarah pada timbulnya praktik korupsi. Dalam konteks ini, sistem pengawasan yang lemah selalu memberikan peluang yang besar bagi terjadinya korupsi. Tak dapat dimungkiri, jika merujuk pada data komisi pemberantasan korupsi (kpk) , hingga 2019 saja telah ada 73 perkara yang melibatkan bumn/bumd.

Salah satu kasus yang cukup mencuat saat ini adalah kasus korupsi pengadaan pesawat yang menjerat bekas direktur utama garuda indonesia emirsyah satar serta eks direktur teknik dan pengelola armada garuda indonesia hadinoto soedigno. Hadinoto bahkan menghadapi tuntutan ganda dalam kasus dugaan suap dan pencucian uang. Jaksa berpandangan bahwa kasus ini bisa disebut sebagai kejahatan yang sempurna karena penerimaan suap dilakukan melalui penyediaan perusahaan dan pembukaan rekening di luar negeri yang ditujukan agar tak terjangkau oleh penegak hukum. Kasus korupsi di perusahaan penerbangan milik negara ini begitu kontras dan menyedihkan di tengah terpaan krisis keuangan yang sedang dihadapi maskapai tersebut.

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh konflik kepentingan di sektor publik inilah yang menjadi salah satu isu penting dalam pencegahan praktik korupsi sebagaimana dimuat dalam pasal 7 konvensi anti-korupsi pbb (uncac) mengenai pentingnya mendesain dan memperkuat sistem yang meningkatkan transparansi dan pencegahan konflik kepentingan. Bahkan, untuk pencegahan korupsi di sektor swasta, perusahaan swasta juga dipandang perlu untuk menerapkan standar konflik kepentingan yang baik bagi korporasi, khususnya ketika mereka mengadakan hubungan kontraktual dengan negara (pasal 12 uncac). Konflik kepentingan dalam pengelolaan bumn sesungguhnya telah menjadi persoalan lama, apalagi jika relasinya ditarik ke ranah politik dan birokrasi. Ekses konflik kepentingan tidak hanya menyasar pada melemahnya sistem pengawasan, tapi juga sering kali menjadi alat untuk menekan kelompok tertentu.


Baca Juga

0  Komentar