Perpres BRIN Jokowi Dikritik, KIKA: Mengikis Otonomi Institusi Akademik

Tempo - Bontang   Kamis, 6 Mei 2021

img

Perpres brin jokowi dikritik, kika: mengikis otonomi institusi akademik tempo.co, jakarta - dewan penasihat kaukus indonesia untuk kebebasan akademik (kika), herlambang p. Wiratraman menilai perpres 33 tahun 2021 tentang badan riset dan inovasi nasional (brin) yang diteken presiden joko widodo tidak menghargai prinsip kebebasan akademik. Perpres ini dinilai bisa mengikis otonomi institusi akademik hingga menyebabkan pendisiplinan kampus. Herlambang menyoroti fungsi brin dalam pasal 4 huruf (c) misalnya, yang menyebut brin menyelenggarakan fungsi pemberian fasilitasi, bimbingan teknis, pembinaan dan supervisi serta pemantauan dan evaluasi di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi.

Setidaknya ada enam fungsi dalam satu ayat ini saja. "kalau dibedah satu per satu, bayangkan apa yang dimaksud dengan pembinaan dan supervisi bagi kalangan peneliti misalnya? kalau itu adalah upaya untuk capacity building, bukankah kampus/lembaga riset sudah punya instrumennya?," ujar herlambang saat dihubungi tempo pada kamis, 6 mei 2021. Lewat perpres ini, ujar dia, fungsi brin bisa sangat luas hingga mengevaluasi para dosen dan peneliti. "bahkan kemungkinannya bisa menilai kenaikan pangkat dan seterusnya.

Hal-hal yang tidak terhubung dengan proses saintifikasi atau produksi pengetahuan. Dan itu bisa menyasar ke dunia kampus," ujarnya. "kalau saya sederhanakan bahasanya, setelah papua, kpk, yang ketiga adalah dunia ilmu pengetahuan yang akan dihabisi dengan selubung pancasila dan wawasan kebangsaan," lanjutnya. Fungsi lainnya yang disoroti adalah fungsi pemantauan.

"apa itu pemantauan? pemantauan dalam bentuk apa? siapa yang melakukan dan apa konsekuensi dari pemantauan?," ujarnya. Ditambah lagi, ujar dia, dengan perintah membentuk badan riset dan inovasi daerah (brida) di daerah-daerah dengan fungsi yang serupa. "saya benar-benar enggak bisa membayangkan, apa orientasinya lembaga ini? ini mau membangun ekosistem riset ataukah melakukan pendekatan yang sangat neo-institusionalis?," ujar dia. Dalam kajian ketatanegaraan, lanjut dia, pendekatan neo-institusionalis ini lebih mementingkan struktur dengan peran-peran yang sangat ekstensif, tapi dalam praktik sebenarnya justru menghambat pengembangan ilmu pengetahuan.

Sebab, mencerminkan teknokratisme pengetahuan dan korporatisme institusi riset atau produksi pengetahuan. "menurut saya, ini sudah disoriented betul apa yang diupayakan oleh pemerintahan jokowi atas pengembangan brin dan brida-nya itu. Enggak perlu menurut saya. Untuk membangun ekosistem riset yang baik ditentukan sejauh mana iklim kebebasan akademik itu bisa dijaga," ujar dia.

Dua elemen terpenting menjaga kebebasan akademik adalah dengan menjamin kebebasan individual dan otonomi institusi akademik yang di dalamnya termasuk kampus dan lembaga riset. "pertanyaan sederhananya, sejauh mana jaminan perlindungan kebebasan akademik di indonesia, apakah dijawab oleh brin/perpres? itu absen. Alih-alih menjamin, yang ada justru mengikis otonomi institusi akademik dan itu jelas bertentangan dengan kebebasan akademik," ujar dia. Masalah saat ini, kata herlambang, tidak adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah memastikan hasil riset dijembatani agar terhubung dengan kebijakan negara.

Saat ini yang terjadi, lanjut dia, pikiran ilmuwan masuk keranjang sampah alias tidak dipakai. Ilmuwan mengatakan a, tapi kebijakan negaranya b. "jadi kalau sekarang, alih-alih bicara soal ekosistem riset, sementara yang terjadi adalah pembodohan dan penindasan terhadap dunia ilmu pengetahuan sekaligus ilmuwannya, maka sebenarnya kebijakan yang hendak disampaikan oleh presiden jokowi/brin ini justru bertolak belakang dan tidak terhubung antara problem dasarnya dan jalan keluarnya," tutur dosen fakultas hukum universitas airlangga ini. Menurut herlambang, waktu akan menguji bagaimana komitmen brin memastikan kebebasan akademik.


Baca Juga

0  Komentar