Ramang Cetak 100 Gol (20)

Kompasiana   Kamis, 22 April 2021

img

Ramang cetak 100 gol (20) setelah berhenti menjadi pemain pada paruh 1960-an, ramang beralih menjadi pelatih. Nama besarnya sangat dihormati orang, meskipun dia tidak memiliki sertifikat pelatih sebagaimana harus dimiliki seorang pelatih saat ini. Ia melatih sesuai pengalamannya. Walaupun berdasarkan apa yang dilakukannya ketika menjadi pemain, tokh tim yang dipolesnya selalu mengalami peningkatan prestasi.

Misalnya, ps blitar putra ketika ditangani ramang berhasil keluar sebagai juara umum pekan olahraga antardepartemen (porade) kompetisi antardepartemen korps pegawai republik indonesia, saat di final dia bertemu teman trio-nya, suwardi arland yang juga melatih kesebelasan jayakarta dalam pertandingan yang dilaksanakan di lapangan persija menteng 1972. Kesebelasan yang dilatih ramang termasuk persipal palu. Kesebelasan ini hampir saja bertengger di divisi utama pssi, jika saja dikalahkan persipura pada pertandingan terakhir. Persipal mengalami peningkatan prestasi yang luar biasa selama dan setelah dilatih ramang.

Bahkan, dalam beberapa kali psm kalah atas persipal. Pasalnya, dua putra ramang, anwar dan rauf juga ikut memperkuat kesebelasan dari sulawesi tengah tersebut. Setelah menunaikan ibadah haji, ramang menarik diri dari riuh rendahnya dunia sepakbola tanah air. Hanya dua di antara lima anaknya yang mengikuti jejak ramang, meskipun tidak mampu berkibar seperti ayahnya.

Arsyad, anak laki-lakinya, tidak begitu cemerlang di lapangan hijau. Anwar sendiri pernah menjadi penyerang pssi tetapi tidak secemerlang ayahnya. Rauf yang menempati pemain belakang, selain pernah memperkuat persipal, juga pernah memperkuat persigowa. Tapi tidak sehebat, adiknya, anwar.

Rauf juga ikut ke ps blitar putra, ketika ramang melatih di sana. Sungguh sangat disayangkan, ide menulis buku tentang ramang justru muncul saat dia sudah 23 tahun berpulang ke rakhmatullah. Saya dua kali pernah menemuinya di jl. Elang (andi mappanyukki) pada suatu sore.

Kedatangan saya yang pertama khusus hendak mewawancarainya, tetapi dia menolaknya dengan mentah-mentah. Sebagai wartawan yang masih belum banyak makan asam garam jurnalistik kala itu, saya tak berusaha ngotot atau menerapkan strategi atau trik untuk mewawancarainya. Saya memilih balik ke kantor harian "pedoman rakyat" yang hanya sekitar 200 m dari kediaman si macan bola ini. Kesempatan emas akhirnya datang juga.

November 1981 ketika itu, seusai ramang keluar dari rumah sakit budi daya di jl. G.bawakaraeng (kini sudah jadi toko), tempat dia dirawat puluhan hari lamanya,saya muncul lagi di kediamannya suatu sore. Kedatangan saya kali ini sama sekali tidak memperlihatkan ingin mewawanarainya, tetapi hanya ingin memotretnya saja. Konten terkait ramang, pesepakbola legendaris (1) salah ingin cetak gol lebih banyak lagi di liga champions tanpa jose mourinho, son heung min cetak gol kemenangan spurs ramang dalam trio pssi (17) ramang dan tendangan pisang (13) moeldoko cetak gol tak cantik (klb), ahy dapat sorakan meskipun pada awalnya memotret pun dia tolak, tetapi saya mulai berani ngotot untuk meyakinkannya.

Seusai memotret, saya tidak langsung pulang, tetapi bergabung dengan ramang sembari cerita "ngalor-ngidul" mengenai sepakbola. Padahal itu saya sedang mengetes saja dulu, apakah ramang merespon "ngalor-ngidul" saya atau tidak. Ternyata gayung bersambut. Cerita yang semula tanpa ujung pangkal itu kemudian menjadi jelas arahnya bahwa perbincangan ala diskusi tukang becak ini sudah mengarah kepada wawancara yang dia tidak sukai.

Ya, begitulah cara wartawan menghadapi narasumber ketika sudah mulai pintar "mengibuli". Ha..ha.. Ramang terus merespon yang saya tanyakan dalam bahasa yang pasaran. Beberapa pandangannya yang mengantar saya cukup memperoleh bahan untuk menulis berita, seperti yang pernah termuat di "kolom" ini beberapa waktu silam.

Kisah penolakan ramang terhadap wawancara ini juga dialami zainuddin tamir koto (zatako), salah seorang wartawan senior asal medan yang juga cukup melegenda di kalangan wartawan olahraga indonesia 1980-an. Alasannya sama saja, sudah tua dan lebih suka kalau pemain muda yang diwawancarai. Ramang mungkin ingin orang tidak pernah lagi melihat namanya di media massa, tetapi publik indonesia tidak akan pernah melupakan sosoknya. (bersambung*).


Baca Juga

0  Komentar