Sebelum Peledakan Itu

Koran Tempo   Sabtu, 3 Juli 2021

img

Sebelum peledakan itu sebelum peledakan itu wendoko “ dad , nanti malam aku jalan-jalan ke pertokoan di dekat pantai, ya,” kata farah kepada ayahnya, mr morgan. Mr morgan, yang sedang duduk-duduk di lobi hotel sambil membaca surel dan pesan-pesan pendek lewat ponsel, mengerutkan dahi. “jalan-jalan lagi? kamu belum puas jalan-jalan hari ini?” mr morgan menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir.

Tapi anak muda memang tak kenal rasa letih, batinnya. Tidak seperti dirinya yang sudah berkepala lima. Seharian ini, mereka—dia bersama istri dan kedua anaknya—sudah menjelajah hampir seperempat pulau ini. Sehabis sarapan di hotel, mereka sudah berkendara ke kawasan gunung yang berjarak tiga jam dari hotel.

Kawasan itu dikenal karena udara yang sejuk, matahari yang lembut, jalan kecil mendaki dan menurun, bentangan warna hijau diselingi kabut, pohon-pohon jeruk, dan sebuah danau. Sebetulnya ada kaldera di kawasan itu, tapi saat terbaik untuk mendatangi kaldera adalah waktu matahari terbit. Itu berarti mereka harus menginap di gunung, bangun sebelum subuh, mendaki dengan disertai pemandu, lalu memandangi kaldera waktu matahari terbit. Mr morgan berpikir, mereka tak akan punya cukup waktu.

Besok malam mereka kembali ke l.a. Dari kawasan gunung, lewat tengah hari, mereka berkendara ke utara—ke pantai yang masih alami. Di sana mereka menyewa perahu motor, agak menjauh ke laut, untuk melihat lumba-lumba. Baru sore hari mereka tiba di hotel.

“ini acara anak perempuan. Mum dan dad tak perlu ikut,” kata farah memecah lamunan ayahnya. “aku keluar dengan bella.” “bella siapa?” “bella stucci, yang menginap di hotel ini.” “oh, bella itu.” mr morgan teringat anak perempuan berkulit agak gelap dan mungkin sedikit lebih tua dari putrinya. Farah mengenal bella sewaktu di kolam renang hotel.

Bella juga menginap di hotel ini bersama orang tuanya. “sudah bilang ibumu?” “sudah. Kata mum , aku mesti bertanya kepada dad .” “baiklah. Tapi pulang setelah pertokoan tutup.

Tidak ke mana-mana lagi.” “baik, dad .” farah meninggalkan ayahnya di lobi hotel. Minibus itu menyusuri jalan beraspal itu dengan kecepatan lambat. “jalan ini makin sempit,” kata richardo. Chicharito menoleh ke arahnya dari belakang kemudi.

“tidak juga. Sejak enam tahun yang lalu, jalan ini tak pernah diperlebar atau dipersempit,” kata chicharito. Richardo mengamati jalan di depannya. Lalu deretan toko di kiri-kanan jalan, di belakang trotoar.

“mungkin benar. Jalan ini masih sama dengan dulu. Trotoar itu juga. Hanya bangunan-bangunan itu lebih padat dan berdempet.

Papan-papan reklame makin banyak. Orang bergerombol di trotoar, dan kedua sisi jalan digunakan untuk parkir kendaraan. Aku mendapat kesan, jalan ini makin sempit. Mungkin lebih tepat, makin sumpek!” “kalau itu, kau benar,” kata chicharito.

Sore ini dia menjemput richardo di bandara. Sobatnya itu pergi merantau enam tahun yang lalu. Ke mana richardo pergi, chicharito tak pernah tahu. Tapi dia mendengar richardo ikut dalam aksi-aksi melawan pemerintah.

Setelah rezim yang lama tumbang, richardo mendukung demo-demo menentang rezim yang baru. Terakhir, dia terlibat dalam bentrokan menentang parlemen yang hendak menjatuhkan rezim berkuasa. Baru sekarang richardo pulang ke pulau ini. Ajaib, kata chicharito dalam hati.

Dalam enam tahun, tiga rezim tumbang di negeri ini. “selama setahun terakhir aku kerap membaca, atau mendengar, tentang pulau ini. Tapi baru hari ini aku menyaksikannya sendiri,” kata richardo. “pulau ini mulai sumpek.

Sejak dari bandara sampai kemari, aku melihat banyak hotel dan kompleks pertokoan, dan masih terus dibangun. Lahan hijau mulai tergerus dan jalan-jalan dipadati kendaraan. Pulau ini sudah tidak seperti dulu!” chicharito terdiam. Melihat dia tak bereaksi, richardo melanjutkan.

“aku kerap membaca tentang rencana pemerintah mengembangkan pulau ini, dengan dalih modernisasi kawasan wisata. Tapi, bagiku, tujuan sebenarnya adalah mengeksploitasi pulau ini untuk menaikkan devisa. Karena itu, para investor, juga investor asing, diundang masuk. Sejak setahun lalu, kawan-kawan kita khawatir akan lahan hijau, daya dukung tanah, dan keasrian pulau ini.

Selain itu, mereka khawatir akan budaya kita karena pengembangan itu bisa saja diarahkan untuk kepentingan orang asing. Tampaknya kekhawatiran itu mulai terbukti. Aku mendengar tentang beberapa kawasan yang mulai banjir, padahal sebelumnya tak pernah terjadi. Dan hari ini aku melihat pulau ini bukan tempat yang tenang, bahkan khusyuk, seperti dulu.

Pulau ini bukan pulau yang kurindukan selama enam tahun ini!” “tak sepenuhnya benar,” tukas chicharito setelah dia bisa mencerna kata-kata richardo. “pulau ini memang akan dikembangkan sebagai daerah wisata karena pulau ini punya potensi. Tapi ada sederet panjang aturan yang mesti dipenuhi. Bahkan beberapa kawasan ditetapkan sama sekali tak boleh disentuh.

Pemerintah sudah mengaturnya, dan kudengar para pemuka adat juga diajak berembuk. Kau masih akan menemukan pantai-pantai yang alami dan kampung-kampung yang mempertahankan adat tradisi mereka.” richardo tak menanggapi. Chicharito mau melanjutkan argumennya, tapi menilik wajah richardo yang seperti tertekuk, dia memilih tak berkata-kata lagi. “bagaimana?” “beres,” kata farah.

Dia baru saja menekan nomor kamar bella. “orang tuamu setuju?” “iya.” “he-he, sudah kubilang. Kalau sama aku, mereka takkan keberatan.” bella tertawa di ujung telepon. “tapi aku mesti sudah di hotel sebelum jam sebelas.

Jika tidak, mereka akan bertanya macam-macam.” “tak masalah!” “ok. Kita ketemu di lobi hotel setelah makan malam.” “hmmm…. Lebih baik kita makan malam berdua saja, agar punya waktu lebih di pertokoan dan terutama di kelab itu.” “boleh juga.” farah lalu menutup telepon. Kemarin bella bercerita tentang sebuah kelab tak jauh dari hotel.

Itu kelab eksklusif dan diperuntukkan bagi orang asing. Penduduk lokal tidak boleh masuk, meski hampir seluruh pekerja di kelab adalah penduduk lokal. Bella penasaran, kenapa penduduk lokal yang terkenal santun tidak boleh masuk. Farah bahkan sudah membayangkan seperti apa isi kelab itu.

“tapi aku pasti tak boleh masuk. Aku belum 17 tahun,” kata farah ketika itu. “aku sudah. Kita coba saja.

Kudengar mereka tak memeriksa id, asalkan yang datang bukan anak-anak. Kalau sama aku, pasti tak ada masalah.” richardo dan chicharito melewati jalan kecil yang hanya cukup untuk dua mobil, dengan trotoar sempit di kiri-kanan jalan. Waktu sore, jalan itu cenderung sepi. “eh, kelab itu! apa benar kelab itu diperuntukkan bagi orang asing?” chicharito melirik ke arah yang ditunjuk richardo.

“ya.” “kenapa?” chicharito menggeleng. “itulah! seperti yang kubilang, kawan-kawan kita khawatir pengembangan pulau ini bisa saja diarahkan untuk kepentingan orang asing. Kelab itu salah satu buktinya! bisa kau bayangkan, bagaimana mungkin kita sebagai penduduk pulau ini, dan warga negeri ini, dilarang menginjak tanah kita sendiri? kita seperti kembali ke zaman kolonial, ketika kita bukanlah tuan di negeri kita sendiri!” richardo menoleh, memandang kelab itu lewat kaca belakang mobil. “dan karena penduduk lokal tak boleh masuk, ada rumor yang beredar di antara kawan-kawan kita.

Jangan-jangan di dalam sana orang-orang asing itu berbuat asusila. Seorang kawan malah berkata, sekarang orang-orang asing bisa seenaknya melampiaskan berahi di pulau ini…. Pulau ini akan rusak, chicharito, karena ulah mereka!” chicharito diam. Lagi-lagi, wajah richardo yang seperti tertekuk membuat dia enggan berkomentar.

Sekilas chicharito melihat seorang laki-laki berdiri di trotoar dan tampak sedang memandangi kelab itu. Dia merasa pernah melihat laki-laki itu sebelumnya. Laki-laki yang berpakaian kedodoran. Alrico sudah bersiap ke luar rumah.

Waktu melewati ruang tengah, dia melihat ayahnya di depan televisi. “aku berangkat.” “ya, jangan pulang malam-malam.” “iya!” sambil menutup pintu, alrico tersenyum kecut. Tak terhitung sudah berapa kali dia mendengar ayahnya menjawab seperti itu, tapi dia masih saja tersenyum kecut. Pertama kali mendengar ayahnya berujar, “jangan pulang malam-malam” , alrico sadar ada yang tak beres pada ingatan orang tua itu.

Saat itulah dia tersenyum kecut. Bukankah dia sudah memberi tahu bahwa dia bekerja di kelab itu sejak empat bulan yang lalu? jadi, mana mungkin “jangan pulang malam-malam” jika kelab baru bubar menjelang jam tiga subuh? alrico menutup pintu pagar. Memang, setelah ibunya meninggal dua tahun lalu, ayahnya mulai menunjukkan tanda-tanda pelupa. Mula-mula ayahnya tidak ingat hal-hal sepele.

Ayahnya kerap lupa di mana kacamatanya ditaruh, atau bungkus rokoknya ditaruh, atau di mana kitab-kitab kesayangannya disimpan. Bahkan pernah terjadi, ayahnya memeriksa pintu depan sampai tiga kali karena tak ingat sudah atau belum mengunci pintu itu. Lalu ayahnya mulai lupa apa yang dikatakan orang-orang kepadanya. Melihat perubahan itu, alrico membatin agar dia lebih bersabar.

Dia tak perlu cemas. Dan kalau sampai hari ini dia hanya tersenyum kecut begitu mendengar “jangan pulang malam-malam”, itu karena dia—katakanlah—mencoba berpikir positif. Ayahnya menganggap dia ada, dan karena itu perlu mengingatkan agar “jangan pulang malam-malam”. Alrico menyusuri gang sempit di depan rumahnya.

Di ujung gang, dia melihat jalan yang mulai dipadati kendaraan dan orang lalu-lalang—di bawah sorot aneka lampu. Dia tinggal berbelok di ujung gang, melewati dua blok pertokoan, sebelum tiba di jalan kecil dan di kelab tempatnya bekerja. Lalu, ketika menyusuri trotoar, alrico lagi-lagi merasa enggan berangkat ke kelab itu—seperti yang dia rasakan dalam tiga hari terakhir. Memang, belum empat bulan dia bekerja di sana, tapi dia mulai tidak betah.

Dia terutama tidak suka pada lagak orang-orang asing yang datang ke kelab, juga temperamen mereka. Atau persisnya, dia tidak suka pada tingkah banyak orang asing di pulau ini. Perkara apa yang mereka lakukan di dalam kelab, atau di tempat lain semacam itu, alrico tidak mau tahu. Tapi, jika tingkah mereka dipertontonkan di depan umum dan melanggar norma di pulau ini, dia merasa tidak nyaman.

Belakangan, dia mendengar para pemuka adat juga mulai gerah. Alrico pernah mendapati orang asing yang setengah telanjang di pantai. Dia pernah mendapati dua orang asing terhuyung-huyung di tengah jalan karena mabuk, sehingga mengganggu lalu lintas. Pada kesempatan lain, dia melihat orang asing yang hanya bercelana pendek tertidur di trotoar karena mabuk.

Tapi alrico mengakui banyak juga orang asing yang santun. Dia tahu karena—sejak siang sampai sore—dia bekerja antar-jemput orang-orang yang melancong ke pulau ini. Selain itu, alrico mengakui, kehadiran orang-orang asing itu telah menolong pulau ini. Ketika gejolak politik melanda negeri ini, setelah krisis moneter memorakporandakan negeri ini, pulau ini bisa bertahan karena makin banyak orang asing yang datang kemari.

“dan banyak yang cantik,” kata alrico, begitu melihat dua gadis muda di teras sebuah restoran. Gadis yang satu berambut cokelat, sedangkan yang lain berambut pirang. Keduanya mengenakan blus tanpa lengan dan rok di atas lutut. Farah dan bella bertemu di lobi hotel sebelum jam tujuh.

Mereka berjalan kaki ke area pertokoan tepat di seberang pantai. Waktu malam, area pertokoan itu semarak oleh orang lalu-lalang, lampu-lampu, dan etalase yang menyala. Mereka keluar-masuk toko, lalu duduk bersantap di teras sebuah restoran. Farah sengaja membeli dua barang kerajinan penduduk lokal, sekadar untuk menunjukkan bahwa dia memang mendatangi area pertokoan itu.

Jam sembilan, mereka berjalan ke kelab eksklusif yang diceritakan bella. Kelab itu letaknya di jalan kecil yang cukup untuk dua mobil, dengan trotoar sempit. Sekarang sedang libur musim panas. Trotoar dipenuhi orang, dan satu sisi jalan digunakan kendaraan untuk menurunkan penumpang.

Tak lama menyusuri trotoar, mereka mulai mendengar dentum suara musik. Tiba-tiba seseorang membuka pintu mobil. Bella hampir menubruk laki-laki yang mendadak keluar dari pintu samping kemudi. Bella dan farah memandangi laki-laki itu.

Laki-laki itu balik memandangi mereka. Bella memilih mengalah. Dia berbelok, menghindari pintu mobil dan laki-laki itu. Farah mengikuti dari belakang.

“berengsek sekali! tak punya tata krama! seharusnya dia meminta maaf!” omel bella. Mereka menyeberang ke kelab. Laki-laki yang baru keluar dari mobil, kulitnya cokelat dan berumur 20-an, memandangi farah dan bella. “sundal!” umpatnya, begitu melihat rambut sebahu farah dan rambut cokelat bella, lalu blus tanpa lengan dan rok pendek 20 sentimeter di atas lutut yang dikenakan farah dan bella.

“tunggu! anda mau ke mana?” alrico mencegat dua laki-laki asing yang mendekat ke pintu kelab. Tugasnya memang menanyai—kalau tidak, memeriksa—tiap orang yang datang sebelum diperbolehkan masuk ke kelab. “ke kelab ini! ke mana lagi?” kata laki-laki bertubuh tambun. Alrico memandang laki-laki yang satu lagi, yang bertubuh pendek dan berambut keriting.

Kedua laki-laki asing itu berusia paruh baya. “anda tidak bisa masuk! sudah peraturan di kelab ini. Kawan anda mabuk!” kata alrico. Rasa tidak suka kepada orang-orang seperti ini membuatnya tak mau berbicara dengan sopan.

“siapa bilang saya mabuk?” kening alrico berkerut. Dia tak mungkin salah. Laki-laki berambut keriting itu tampak tak bisa berdiri tegak dan terus dipegangi kawannya. Mula-mula di bahu, dan ketika dicegat oleh alrico, tangan kawannya berpindah ke pinggang.

Sorot mata laki-laki itu tidak fokus, dan waktu mengucapkan “siapa bilang saya mabuk?” suaranya seperti melayang tanpa tekanan. Laki-laki berambut keriting memaksa maju. Kawan alrico, yang sejak tadi mengawasi, bergeser untuk menghadang di depan pintu kelab. “baiklah! baik, kalau tak boleh masuk! awas kalian! kalian tidak tahu siapa kami!” umpat laki-laki bertubuh tambun.

Mereka lalu berjalan pergi. Laki-laki yang baru keluar dari mobil merapatkan jaket rompi yang dikenakannya. Dia memandang kawannya di belakang kemudi, menganggukkan kepala, menutup pintu mobil, lalu berjalan ke arah pub di seberang kelab itu. Di tepi trotoar, laki-laki yang berpakaian kedodoran mengamati kawannya masuk ke pub itu—pub yang boleh didatangi penduduk lokal.

Jadi sekarang dia menunggu. Lima menit, seperti waktu yang disepakati. Jika dalam lima menit tidak ada yang terjadi, dia tinggal memencet sebuah nomor di ponselnya. Lalu bom itu akan meledak.

Empat menit dua puluh detik lagi. Cukup lama mereka merencanakan semua ini, sejak di rumah-rumah kontrakan di kampung terpencil—dan terus berpindah-pindah—dan di kota-kota pinggiran. Bahkan, hanya berbekal keyakinan, mereka datang ke pulau ini. Hanya keyakinan, karena waktu itu belum disetujui pimpinan pusat.

Tapi malam ini rencana ini tak akan tinggal sebagai rencana. Tiga menit lima puluh detik lagi. Rencana mereka sederhana saja. Dia merakit dua bom.

Bom pertama, yang berbobot ringan, dipasang di jaket rompi yang dikenakan kawannya itu. Daya ledaknya kecil saja, tapi cukup untuk mencerai-beraikan tubuh kawannya dan suara yang ditimbulkan sangat nyaring. Tujuannya adalah menciptakan kepanikan. Orang-orang akan berhamburan dari pub.

Juga orang-orang di dalam kelab akan berlarian keluar dan orang-orang di sekitarnya akan mendekat. Ketika banyak orang sudah berkumpul, bom kedua yang ditaruh di mobil—yang dikemudikan kawannya yang lain—akan diledakkan. Bom kedua ini berdaya ledak besar. Tak hanya meledak, tapi juga membakar dan menimbulkan kerusakan yang parah.

Tiga menit lagi. Dia sudah mengamati jalan ini selama beberapa hari. Dia tahu pada jam berapa jalan ini akan dipadati orang. Dia juga tahu, jam berapa saja patroli keliling akan lewat.

Dan dia sudah memilih jam yang tepat, karena sebetulnya mobil tak boleh diparkir di jalan ini. Bahkan tadi sore dia kembali ke jalan ini untuk memastikan tak ada yang luput dari pengamatannya. Dua menit tiga puluh detik lagi. Kenapa jam berjalan lambat sekali? dua orang yang dipanggilnya kawan itu baru dikenalnya tiga hari lalu.

Keduanya didatangkan ke pulau ini. Keduanya masih muda, tapi sangat fanatik pada perjuangan mereka. Mulanya kedua anak muda itu sangat bersemangat. Tapi, semakin mendekati malam ini, keduanya tampak gelisah dan terus berdoa.

Bahkan keduanya pernah menanyakan keluhuran rencana malam ini. Dan dia harus meyakinkan mereka. Dia tahu, kedua anak muda itu tidak goyah pada perjuangan mereka. Hanya keduanya takut mati.

Tidak ada orang yang tak takut jika tahu akan mati! lalu kabar itu datang. Rencana mereka disetujui. Satu menit empat puluh detik lagi. Begitu hari berubah gelap, mereka bertiga masuk ke mobil yang telah disiapkan.

Sesuai rencana, dia akan mengawal sampai ke lokasi, tapi turun di tengah jalan—di suatu titik dalam radius yang aman. Bahkan, seandainya kedua anak muda itu tak menunjukkan tanda-tanda gelisah, dia tetap harus mengawal. Tugasnya adalah memastikan rencana malam ini berjalan dengan benar. Jika kedua bom tak meledak, entah karena persoalan teknis atau—katakanlah—kedua anak muda itu berubah pikiran, dia tinggal memencet dua nomor di ponselnya.

Satu menit lagi, dan tak ada yang terjadi. Lima puluh detik lagi. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana. Empat puluh detik lagi.

Dia mulai menyalakan ponsel. Tiga puluh detik lagi. Dua puluh detik lagi. *** wendoko menulis puisi dan cerita.


Baca Juga

0  Komentar