Sinyal Siaga The Fed

Investor   Kamis, 8 Juli 2021

img

Sinyal siaga the fed wacana the fed untuk kembali menaikkan suku bunga acuan pada 2023 menuai banyak respons. Respons paling kentara datang dari bursa saham global. Pada perdagangan rabu 16 juni, bursa saham amerika serikat (as) mengalami koreksi perdagangan dan ditutup melemah. Hal ini juga berdampak pada fluktuasi pasar uang dan imbal hasil obligasi pemerintah as.

Yang mengejutkan lagi, sebetulnya, bukan hanya rencana the fed soal suku bunga yang naik lebih cepat dari perkiraan pasar, tetapi juga rencana bank sentral as itu melakukan tapering of f atau pengurangan stimulus ke pasar. Berita ini sudah mulai merebak sejak rilisnya indikator-indikator ekonomi as pada mei 2021. Kondisi ini menjadi isyarat awal bagi the fed untuk mulai mengubah arah kebijakannya pascapandemi covid-19. Seperti diketahui, the fed telah mempertahankan kisaran target untuk suku bunga acuannya berada pada rentang 0-0,25% sejak maret 2020.

Keputusan ini diambil sejalan dengan langkah otoritas moneter as dalam mendukung pemulihan ekonomi akibat pandemi yang melanda dunia hampir dua tahun belakangan ini. Per mei 2021, tingkat suku bunga acuan the fed berada di level 0,06%. Di samping menerapkan kebijakan moneter konvensional, the fed juga menjalankan stimulus moneter dengan melakukan pembelian surat berharga. Hal yang sama sebenarnya juga dilakukan the fed pada 2008, ketika as mengalami resesi ekonomi aki bat subprime mortgage.

Kebijakan quantitative easing menjadi langkah yang diambil the fed selama kurang lebih lima tahun untuk memulihkan ekonomi. Pada 2020, the fed kembali melakukan hal yang sama dan bermuara pada peningkatan balance sheet the fed. Terlihat bahwa nilainya kian hari kian meningkat. Dari us$ 4,31 triliun pada maret 2020 menjadi us$ 7,92 triliun dalam kurun waktu 14 bulan.

Menaikkan kembali suku bunga acuan dan melakukan tapering off tentu bukan sebuah keputusan yang tidak berdasar. Para pejabat the federal reserve melihat pemulihan ekonomi sudah mulai berjalan di as dalam beberapa bulan terakhir. Beberapa di antaranya terlihat dari penurunan ting kat pengangguran menjadi 5,8% pada mei 2021, dari 14,8% pada april 2020. Selain itu, tingkat inflasi inti sebesar 3,8% berada pada level tertingginya dalam 10 tahun terakhir.

Atas dasar ini, the fed mantap mengambil langkah untuk menaikkan proyeksi inflasi as pada 2021 menjadi 3,1% dari proyeksi periode sebelumnya sebesar 2,2%. Potensi pemulihan ekonomi as yang lebih cepat dari perkiraan membawa respons beragam, terutama bagi pengambil kebijakan negara lain. Kondisi ini, terutama, menyasar psikis pasar keuangan dan respons kebijakan di masa depan. Fokus pemulihan apabila kita menengok sedikit ke belakang, memang langkah the fed melakukan pengurangan stimulus pada 2013 menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan.

Hal ini membuat dolar as kembali perkasa hingga memunculkan istilah “ taper tantrum ” yang mendorong capital outflow di beberapa negara. Aksi greenback ini terjadi pula di indonesia, di mana membuat tertekannya rupiah akibat guncangan di pasar keuangan. Tentu, hal tersebut sangat tidak diharapkan untuk terjadi saat ini. Terutama di saat kondisi ekonomi domestik belum sepenuhnya pulih.

Hal ini bisa terlihat dari ke bi jakan moneter yang masih eks pansif. Per juni 2021, bi masih me nahan suku bunga acuan pada level 3,5%. Penahanan suku bunga ma sih sejalan dengan tujuan pemulihan ekonomi dengan mencoba unt uk membantu proses pemulih an ekonomi agar bisa konsisten terjadi. Isyarat kenaikan suku bunga the fed dan tapering off memunculkan pertanyaan mengenai langkah kebijakan bank indonesia ke depan.

Akankah bi kembali me naikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat? yang jelas dibandingkan periode taper tantrum sebelumnya, the fed tentu akan lebih berhati- hati untuk ti dak menimbulkan kegaduhan di pasar keuangan. The fed akan mengambil langkah terukur dan masih melihat perkembangan kon disi pemulihan ekonomi as di paruh kedua 2021. Menurut hemat penulis, bi juga tidak akan terburu-buru untuk menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Namun langkah preventif tentu diperlukan dalam mengantisipasi beberapa skenario terburuk dari langkah tapering of f dari the fed.

Dari sisi kebijakan moneter, pemerintah perlu melihat efektivitas dari beragam kebijakan moneter yang sudah dilakukan. Sejauh ini bank indonesia sudah berusaha terjun dalam pemulihan ekonomi melalui ekspansi moneter, memaksimalkan kebijakan makroprudensial dan melakukan skema burden sharing bersama pemerintah. Namun instrument suku bunga bi kepada perbankan masih belum bisa menggerakkan ekonomi secara maksimal. Dari sisi kebijakan fiskal, anggaran program penanggulangan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (pc-pen) tahun 2021 yang semula rp 699,43 triliun dan dinaikkan menjadi rp 924,83 triliun, perlu terus dimaksimalkan.

Realisasi anggaran pen per 28 mei 2021 baru mencapai 27,9% dari pagu anggaran. Melihat nilai realisasi masih cukup rendah dalam 5 bulan terakhir tentunya pemerin tah perlu terus mendorong penyerapan anggaran terutama pada sektor prioritas. Sektor kesehatan perlu menjadi fokus utama dalam peningkatan realisasi anggaran. Ancaman second wave sudah mulai terlihat setelah libur idulfitri dan merebaknya varian delta (dari india) di beberapa daerah.

Bahkan, sejak akhir juni setiap harinya indonesia terus mencatatkan rekor penambahan kasus harian dan meningkatnya angka kematian pasien. Pemerintah perlu bergerak cepat dalam melakukan tracing , testing , vaksinasi, dan terus mengingatkan kepatuhan akan penerapan protokol kesehatan di masyarakat. Terakhir yang perlu diperhatikan juga yaitu menjaga momentum surplus pada neraca dagang yang saat ini sedang terjadi di dalam negeri. Kalaupun harus defisit, level defisit neraca dagang tidak sangat besar sehingga kemudian akan berdampak pada meningkatnya defisit pada neraca transaksi berjalan.


Baca Juga

0  Komentar