Opsi Terbaik untuk Garuda

Koran Tempo   Minggu, 30 Mei 2021

img

Opsi terbaik untuk garuda restrukturisasi merupakan langkah paling masuk akal dalam upaya menyelamatkan garuda indonesia. Dengan utang mencapai rp 70 triliun dan ekuitas rp 41 triliun di tengah pandemi yang entah kapan berlalu, perusahaan penerbangan pelat merah itu tidak mungkin bertahan tanpa perubahan radikal. Penataan ulang keuangan merupakan satu dari empat opsi yang disiapkan kementerian badan usaha milik negara untuk menolong perusahaan itu dari krisis. Pilihan pertama adalah menggelontorkan suntikan modal dari negara.

Kedua, restrukturisasi dengan hukum perlindungan kebangkrutan. Ketiga, membentuk perusahaan baru sebagai maskapai penerbangan nasional. Terakhir, melikuidasi alias membiarkan garuda bubar. Jalan yang bisa dilakukan adalah kombinasi opsi kedua yang dimodifikasi, opsi ketiga, serta usulan baru berupa penerbitan saham baru alias rights issue.

Restrukturisasi tidak hanya soal pinjaman--termasuk perpanjangan jangka waktu dan penurunan suku bunga kredit--tapi juga meliputi biaya sewa pesawat, kontrak kerja, dan beban lain. Pemerintah bisa memfasilitasi garuda untuk menggandeng aliansi lintas negara bersama maskapai lain. Pada saat semuanya megap-megap seperti sekarang, perusahaan penerbangan tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Pabrik dan perusahaan penyewaan pesawat, serta bank, harus duduk bersama mencari jalan keluar dari krisis keuangan ini.

Pembahasan industri penerbangan selama masa wabah dan setelahnya merupakan agenda penting. Pandemi ini telah mengubah total wajah lalu lintas udara dunia. Bisnis perjalanan yang selama ini menjadi tulang punggung pendapatan maskapai, sampai membuat subsidi silang tarif yang memungkinkan tarif kelas ekonomi yang murah, bakal terus anjlok. Tanpa dialog lintas negara dan industri tersebut, bukan tak mungkin makin banyak maskapai penerbangan berguguran dalam waktu dekat.

Restrukturisasi semata tidak akan cukup karena hanya menjawab sebagian persoalan, seperti utang jangka pendek dan beban sewa pesawat. Untuk menjawab problem mendasar, seperti warisan utang, pemerintah perlu masuk ke opsi ketiga: mendirikan perusahaan baru. Langkah ini pernah diambil pemerintah belgia untuk sabena airlines dan swiss untuk swiss air. Sama seperti pada pilihan lain, opsi ini butuh fulus.

Berdasarkan hitung-hitungan kementerian bumn dan garuda, modalnya paling sedikit us$ 2 miliar atau sekitar rp 28,6 triliun. Dari mana duitnya? bisa dari rights issue. Ini merupakan langkah lazim bagi perusahaan yang butuh tambahan modal dan membayar utang. Dengan hak memesan efek terlebih dahulu (hmetd) ini, investor dari mana saja bisa masuk, termasuk asing.

Pemerintah tak perlu segan mengundang semakin banyak pemodal. Ujung-ujungnya, saham pemerintah di garuda bisa terdilusi alias menurun persentase nilai kepemilikannya, bahkan habis. Jika memang harus demikian, ya, tidak mengapa. Toh, selama ini hak istimewa--dikenal sebagai saham dwiwarna--di perusahaan pelat merah tersebut sering membuat korporasi tidak bisa menjalankan bisnis secara optimal.

Ada saja intervensi, biasanya berunsur politis, yang menghambat. Dengan utang menumpuk garuda, bukan saatnya kita mengangkat-angkat jargon nasionalisme dan kebanggaan semu lainnya. Jangan lupa, penyakit kronis keuangan garuda tak hanya merupakan dampak dari pandemi global covid-19, tapi juga kesalahan manajemen masa lalu. Perusahaan ini tersandera kontrak yang kemahalan dan tidak efisien dalam pembelian dan penyewaan 24 bombardier crj1000 nextgen.

Ada juga korupsi dalam pembelian airbus dan mesin rolls-royce. Suntik modal, seperti yang tercantum pada opsi satu, jelas bukan pilihan. Termasuk rencana garuda indonesia mengajukan dana talangan rp 8,5 triliun lewat program pemulihan ekonomi nasional. Publik membayar pajak bukan untuk menalangi perusahaan yang lama salah urus.


Baca Juga

0  Komentar