Taman Mini

Koran Tempo   Sabtu, 10 April 2021

img

Taman mini akhirnya taman mini indonesia indah, atau yang populer hanya disebut taman mini, diambil alih pengelolaannya oleh pemerintah. Selama 44 tahun obyek wisata yang dibangun lewat berbagai protes itu dikelola yayasan harapan kita, sebuah yayasan yang dikuasai “keluarga cendana”, putra-putri mantan presiden soeharto. Memang taman mini adalah proyek mercusuar dari ibu negara saat itu, ibu tien soeharto, yang diresmikan pada 20 april 1975. Kini, lewat peraturan presiden yang diteken joko widodo pada 31 maret 2021, taman mini dikelola negara.

Kembali ke negara? memang secara formal kawasan wisata seluas 150 hektare itu adalah asset negara. Tanahnya milik negara. Bangunannya, ya, punya negara. Museum yang ada di sana dibangun oleh berbagai departemen (sekarang kementerian).

Anjungan daerah dibangun pemerintah daerah masing-masing. Dari konsep taman budaya, taman mini berkembang menjadi kawasan wisata komersial. Ada gedung pertunjukan khas yang tak ada di tempat lain, misalnya teater keong emas. Punya bangunan yang disewakan untuk umum, seperti gedung sasono langen budoyo, tempat prestisius untuk hajatan kawin.

Gedung ini juga sering dipakai untuk pertemuan akbar seperti musyawarah nasional organisasi sosial-politik. Di kawasan ini juga dibangun tempat ibadah semua agama yang diakui negara, kecuali konghucu yang baru belakangan “diakui” sebagai agama. Semua tempat ibadah itu berdampingan. Seharusnya kawasan wisata sehebat taman mini menghasilkan pemasukan besar bagi negara.

Ini yang tidak jelas. Pengelolanya swasta, sementara asetnya milik negara dan biaya pemeliharaan maupun kegiatannya seperti lepas dari tanggung jawab pengelola. Anjungan pemerintah daerah dipersilakan membuat kegiatan memperkenalkan budayanya masing-masing. Namun beban keuangan ditanggung pemerintah daerah, sementara pengunjung masuk ke taman mini membayar dengan tarif mahal.

Pada era presiden megawati, menteri kebudayaan dan pariwisata i gede ardika pernah bermaksud menata ulang pengelolaan taman mini. Dalam sebuah diskusi di kantor majalah tempo , gede ardika memaparkan konsepnya, antara lain akan membentuk sebuah bumn di kementeriannya untuk mengelola taman mini. Entah hambatan apa yang ada, niat memperjelas status pengelolaan taman mini itu tak berlanjut. Belakangan ini fungsi taman mini sebagai edukasi budaya luhur bangsa dengan menampilkan “puncak-puncak budaya daerah” (ini gagasan besar pada awal pendiriannya) semakin suram.

Kalah oleh keriuhan musik pop, kereta gantung, keong emas (padahal filmnya jarang ganti). Pengelola anjungan seperti kesulitan dana untuk menghidupkan anjungannya. Museum pun tak semuanya ramai dikunjungi orang karena mulai kehilangan gereget. Bahkan beberapa museum telantar.

Contoh museum yang bangunannya sudah berantakan adalah museum telekomunikasi. Sekarang, siapa pemilik dan pengelola museum ini juga tak jelas. Museum ini dibangun oleh departemen pariwisata, pos, dan telekomunikasi (deparpostel), memenuhi anjuran setiap departemen membangun museum. Ketika deparpostel tak lagi berupa kementerian, museum telekomunikasi diserahkan ke pt telkom—karena pt pos sudah punya pula museum prangko.

Lama-lama pt telkom pun angkat tangan, mungkin berpikir: “untuk apa museum itu?". Nasib museum lain juga merana, antara ada dan tiada, meski bangunannya masih utuh. Pengambilalihan taman mini oleh negara seharusnya tak cuma memperjelas siapa pengelolanya, tapi juga bagaimana taman mini itu ke depan, mau dijadikan apa. Apakah menjadi kawasan wisata yang sepenuhnya komersial berorientasi keuntungan atau punya misi edukasi membangun dan melestarikan budaya bangsa.


Baca Juga

0  Komentar