Imron Wasi: Terorisme, Politik Global, dan Kontra Terorisme

Biem   Jumat, 23 April 2021

img

Imron wasi: terorisme, politik global, dan kontra terorisme biem.co — kejadian teror terjadi kembali dan menyeruak di indonesia. Hal ini terkonfirmasi dari dua teror yang terjadi di awal-awal tahun 2021. Pertama, teror yang dilakukan di gereja katedral, makassar, pada ahad, 28 maret lalu. Kemudian, tak lama berselang dari peristiwa tersebut–tepatnya–tiga hari kemudian, salah satu gerakan teror justru diprakarsai oleh oknum yang mencoreng nama baik ‘milenial’.

Dengan kata lain, aksi teror tersebut dilakukan oleh zakiah aini (25) yang menyusup ke sebuah lembaga keamanan di indonesia, dalam hal ini, markas besar kepolisian ri di kebayoran baru, jakarta selatan pada rabu, 31 maret lalu. Menurut laporan utama majalah tempo, 11 april 2021, menyebutkan bahwa para pelaku pengemboman yang merambah gereja katedral dan markas besar kepolisian ri, sama-sama bersimpati kepada kelompok negara islam irak dan suriah (isis). Aksi teror yang dilakukan di makassar, tepatnya di gereja katedral tersebut merupakan buntut dari kematian dua rekan mereka pada januari lalu. Dalam istilah lain, ada misi balas dendam yang dilakukan ‘pengantin’, muhammad lukman alfarizi dan yogi safitri fortuna alias dewi juwariya.

Pasangan suami-istri tersebut, juga diduga telah berafiliasi atau menjadi anggota jamaah ansharut daulah (jad) makassar. Pada peristiwa tersebut, pasangan suami-istri ini menggunakan jenis peledak, yakni, bom panci dengan daya ledak tinggi dan mengakibatkan jatuhnya korban, seperti dilansir tempo, 11 april 2021, korban yang berjatuhan sebanyak 19 orang (terluka). Kemudian, di sisi yang lain, penyerangan yang dilakukan di markas besar kepolisian ri, pada rabu, 31 maret 2021, juga secara kasat mata melibatkan perempuan, terlebih sosok perempuan tersebut masih berusia 25 tahun. Bahkan, ia juga pernah mengenyam pendidikan tinggi, dan pada akhirnya mengalami drop out, seperti informasi yang beredar.

Pada saat yang sama, aksi kali ini cukup mengejutkan, karena secara eksklusif merambah markas besar kepolisian ri. Dalam menjalankan aksinya, ia memakai senjata pistol air gun berpeluru gotri. Gerakan teror yang dilakukannya menggunakan mekanisme lone wolf. Selain itu, pelaku juga tampak bersimpati kepada isis.

Secara realitas, melihat dua peristiwa tersebut, kita bisa melihatnya sebagai suatu upaya untuk menciptakan ketakutan nasional, agar segala aktivitas yang koheren terhadap sosio-ekonomi dan sosio-politik mengalami instabilitas, sebagaimana yang diproyeksikan oleh para pelaku dan jejaringnya. Kendati demikian, akar sejarah gerakan terorisme ini sesungguhnya sudah begitu lama dijadikan alat untuk menciptakan atau mengondisikan sesuatu, agar kepentingannya tercapai. Sudah menjadi rahasia umum, peristiwa 9/11 dulu mengejutkan negara-negara global, termasuk peristiwa bom bali 1 dan ii serta aksi-aksi teror lainnya di indonesia. Pada dasarnya, gerakan teror tersebut memiliki sebuah prinsip, meminjam istilah purbawati (2014), yang menyebutnya sebagai falseflag terror operation yang bertujuan memberikan tekanan kepada publik bahwa teroris dan terorisme versi al-qaeda eksis di indonesia dengan sebutan jamaah islamiyah (atau apa pun namanya).

Seperti yang sudah diulas di awal, gerakan teror yang telah dilakukan oleh para terorisme bertujuan untuk mengganggu instabilitas ekonomi dan politik. Hal ini terkonfirmasi dari sebuah studi yang telah dinyatakan oleh goodin (2006), bahwa terorisme memiliki ciri sentral, yaitu, merupakan satu bentuk kekerasan politik yang bertujuan untuk mencapai tujuannya melalui penciptaan iklim ketakutan dan ketundukan. Sejumlah gerakan terorisme selalu mengancam public sphere, karena hendak mewujudkan atau menghancurkan tatanan sosial yang telah mapan. Biasanya, aksi teror ini pula tidak pilih-pilih.

Ia menyasar ruang lingkup global, termasuk aspek-aspek yang mengancam wilayah domestik, misalnya, aspek ekonomi dan politik. Kedua aspek tersebut, akan selalu berkelindan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan, karena keduanya ibarat sepasang kekasih. Apabila yang satu terancam, maka akan berdampak pada yang lainnya. Teroris selalu mengandalkan strategi dan taktik untuk memprovokasi khalayak publik, sehingga akan bermuara pada konflik sosial di tengah peradaban kontemporer.

Terlepas dari itu semua, pelaku teror tersebut sudah sedari awal memperoleh indoktrinasi yang begitu kuat. Hal ini dikonfirmasi atas mentalitasnya yang berani berbuat keriuhan dengan mekanisme tertentu. Indoktrinasi yang diterima tentu membangkitkan asa mereka untuk berbuat hal ihwal yang tidak sesuai dengan nilai dan norma di lingkungan global. Padahal, dalam literatur filsafat, seringkali ditekankan pentingnya untuk berpikir secara sistematis, radikal, dan komprehensif.

Radikal di sini dapat dimaknai sebagai upaya pemikiran yang mengutamakan asas rasionalisme; bukan malah terjerembab pada pemikiran yang sempit, yang tiba-tiba menerima dogma atau doktrin tertentu tanpa difilter terlebih dahulu. Dalam kaitan tersebut, aksi terorisme akan selalu berkembang sesuai kemajuan teknologi, komunikasi, dan informasi. Dalam bahasa lain, ada semacam modifikasi gerakan secara periodik sesuai karakteristik wilayah, terutama karakteristik peradaban. Aksi teror yang terjadi di indonesia dan transnasional lainnya pasti memiliki relasi atau berafiliasi dengan para teroris lainnya.

Karena, berbicara negara, maka akan selalu membahas pelbagai kebijakan untuk menjalankan aktivitas pemerintahan, termasuk di dalamnya ada politik. Politik global juga rentan terhadap aksi teror. Sebab, politik global juga suatu manifestasi dari peradaban. Dalam sebuah studi heywood (2017), politik global, edisi kedua, menggambarkan bahwa terorisme dapat didefinisikan menurut sifatnya, yaitu: (i) aksi itu sendiri; (ii) para korban; (iii) para pelaku.

Sebagian besar para ahli mendefinisikan terorisme sebagai suatu gerakan yang hendak menimbulkan ketakutan. Bahkan, chomsky dan falk (1991) juga turut memberikan pandangannya. Menurut mereka, terorisme serupa dengan pembunuhan terhadap masyarakat sipil tak bersenjata, dan ia adalah sesuatu yang dapat dilakukan oleh negara maupun pelaku non-negara. Dalam setiap peristiwa yang terjadi pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan.

Dalam hal ini, yang menjadi pertanyaan fundamental, siapa yang diuntungkan dari setiap gerakan terorisme? hal ini perlu dicermati secara detail, agar perkara dan penanganan kontra terorisme dapat segara disusun sesuai situasi dan kondisi yang berlaku. Ignatief (2004) dalam heywood (2017), misalnya, telah membedakan empat jenis terorisme, yakni: (i) terorisme pemberontakan; (ii) terorisme tunggal atau isu; (iii) terorisme nasionalis; dan (iv) terorisme global. Dalam perspektif tersebut, secara faktual menunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi di awal-awal 2021, mengenai aksi teror merupakan sebuah gerakan yang masuk dalam kategori ‘terorisme global’. Terorisme global secara harfiah memiliki tujuan untuk menghasilkan kerusakan pada kekuasaan global atau untuk mentransformasi hubungan-hubungan peradaban global (contohnya adalah al-qaeda).

(ignatief, 2004). Sebagaimana yang sudah diuraikan di muka, bahwa gerakan teror yang dilakukan ialah suatu gerakan untuk melawan kemapanan sosio-politik yang ada. Dalam pandangan realis terorisme bisa dipandang sebagai aksi kekerasan yang bertujuan untuk menantang atau melawan tatanan yang telah mapan yang dilakukan oleh kelompok atau gerakan non-negara. Selain itu, di sisi yang lain, pandangan liberal yang lebih menekankan peran ideologi daripada sekadar pencarian kekuasaan.

Lebih lanjut, pandangan ini mengemukakan bahwa dalam menjelaskan terorisme adalah karena pengaruh ideologi politik atau agama yang memunculkan rasa ketidakadilan dan kebencian yang mendalam, sehingga membutakan para pelaku kekerasan tersebut dari biaya-biaya moral dan kemanusiaan dari aksi-aksi mereka. (heywood, 2017). Dalam menangkal pelbagai aksi terorisme yang semakin abstrak membutuhkan strategi kontra terorisme yang sangat apik. Ketika membahas strategi untuk mengisolasi gerakan terorisme di tanah air, secara eksklusif, panca-indera kita akan tertuju pada sebuah badan dan/atau lembaga yang menangani terorisme, misalnya, badan nasional penanggulangan terorisme (bnpt).

Badan ini memiliki tanggung jawab dalam rangka upaya untuk mencegah gerakan teror agar tidak masif. Dalam hal ini, bnpt memiliki strategi, setidaknya, untuk sementara yaitu dengan deradikalisasi dan kontraradikalisasi. Sejak semakin masifnya gerakan aksi teror secara global dengan penggunaan platform digital membuat gerakan teror semakin tidak bisa dihindari, terutama bagi milenial. Karena, di kanal-kanal tertentu pasti ada sebuah konten tertentu yang dapat menjadi trigger sebuah gerakan.

Tidak mungkin ada asap, tanpa ada api. Begitu pun dengan peristiwa teror. Pasti ada sebab dan akibat yang melatar belakanginya. Dengan demikian, pemerintah perlu mengoptimalkan kembali langkah-langkah pendekatan secara persuasif agar hal ini menjadi langkah preventif yang bersifat konkret, terlebih anggaran yang diberikan juga tampak besar.

Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu menangkal konten-konten radikal yang selama ini diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan ke khalayak publik dengan memblokir situs-situs tertentu yang membuat propaganda. Dapat pula melibatkan pelbagai organisasi masyarakat untuk melaksanakan kegiatan positif sebagai upaya untuk menangkal aksi teror. Negara tidak boleh berkompromi dengan gerakan teror. Karena, hal ini akan berimplikasi terhadap berbagai sektor.

Negara sedari awal perlu komitmen untuk tetap dan konsisten menjaga marwah negara. Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan anak-anak muda (milenial) dalam mengisolasi gerakan teror. Keterlibatan milenial dalam kancah kontra terorisme juga sebagai perwujudan dari bela negara yang kerap didengungkan oleh para elite politik negeri ini. Kemahiran dan kecakapan di bidang teknologi harus lebih ditingkatkan.


Baca Juga

0  Komentar