Jalan Puisi Umbu Landu Paranggi

Koran Tempo   Sabtu, 10 April 2021

img

Jalan puisi umbu landu paranggi dengan mata pena kugali-gali seluruh diri dengan helai-helai kertas kututup nganga luka-luka kupancing udara di dalam dengan angin tangkapanku begitulah selalu kutulis nyawamu senyawa nyawaku berjudul upacara xxii , puisi itu merupakan salah satu karya umbu landu paranggi yang dimusikalisasi tan lioe ie. Puisi selain upacara xxii berjudul kuda putih. Musikalisasi ini diabadikan dalam platform musik digital dan video. Pada kuda putih , bahkan tampak umbu bermain-main dengan seekor kuda putih yang lincah.

“itu dokumentasi dulu rekaman tvri denpasar. Beruntung waktu itu beliau semangat sekali mau divideokan,” ujar tan lioe ie kepada tempo , rabu, 7 april 2021. Yocki—sapaan penyair kelahiran denpasar, 1 juni 1958 itu—ialah salah satu murid umbu di bali. Ia mulai memusikalisasi puisi umbu pada 1991.

Biasanya, saat yocki mementaskan musikalisasi puisi, umbu baru mendekat setelah ia mulai angkat gitar. Sebelumnya, ia berdiri atau duduk di belakang, di kejauhan. Suatu kali, umbu memintanya menyanyikan puisi tujuh cemara. “bagian ini, bait ini, kau bacakan seperti sukarno berpidato,” ujarnya menirukan umbu.

Puisi panjang tentang revolusi itu “dipadatkan jadi 10 menit”. Banyak kenangan tan lioe ie bersama umbu. Ia sering mendengar umbu mengakui dirinya introver. Umbu pun pernah bercerita bahwa ia dibiarkan membuat puisi saat jam belajar di sma bopkri yogyakarta oleh lasiyah soetanto, gurunya (kemudian menjadi menteri negara pemberdayaan perempuan pada 1983-1987).

Juga ia bercerita suka bersembunyi jika tak ingin menemui seseorang, hingga kesukaannya memberi nama atau menambahkan nama seseorang. “beliau itu tidak banyak bicara, tapi ngangeni .” umbu landu paranggi (kiri), d zawawi imron, dan tan lioe le dalam sebuah acara di fakultas sastra unud, 1996. Dok tan lioe ie umbu wulang landu paranggi meninggal pada selasa dinihari, 6 april 2021, di rs bali mandhara (rsbm) karena terjangkit covid-19. Kepergiannya meninggalkan duka bagi sahabat, murid, sastrawan, dan pencinta sastra.

Persinggungannya dengan banyak orang, karya-karya, dan “pengasuhannya” membuat umbu landu diakui sebagai mahaguru sastra. Ia bukan sosok tokoh di puncak menara, tapi sangat mengakar. Ia seakan-akan tak mau ditokohkan, menolak hadir dalam acara formal, bahkan sempat menampik beragam penghargaan, meski belakangan menerimanya. Penghargaan yang pernah ia dapatkan, antara lain, pengabdian pada dunia sastra dari kementerian pendidikan dan kebudayaan (2019), penghargaan pencapaian sepanjang hayat untuk pembinaan sastra indonesia selama 50 tahun dari akademi jakarta (2019), anugerah kebudayaan dari fakultas ilmu pengetahuan budaya ui (2018), penghargaan dharma kusuma (2018), dan bali jani nugraha dari pemerintah provinsi bali (2020).

Penyair kelahiran sumba, 10 agustus 1943, itu merupakan tokoh unik sekaligus misterius yang amat mencintai puisi. Ia mendedikasikan hidupnya untuk puisi dan menumbuhkan banyak bibit penyair. Yogyakarta dan bali menjadi ladang untuk mewujudkan kecintaannya pada puisi. Ia lama tinggal di yogyakarta, bersekolah dan menyelesaikan kuliah di fakultas ilmu sosial politik universitas gajah mada (ugm) dan fakultas hukum universitas janabadra, yogyakarta.

Di yogyakarta, ia mendapat gelar presiden malioboro. Ia membina komunitas sastra persada studi klub (psk) di kawasan malioboro pada 1960-1970-an. Ia mengasuh rubrik sastra di mingguan pelopor. Ia guru dari banyak penyair, seperti emha ainun nadjib, eko tunas, dan eha kartanegara.

Juga linus suryadi ag (alm), korrie layun rampan (alm), ragil surwarna pragolapati, iman budhi santosa, mustofa w. hasyim, dan lain-lain. Pada 1978, umbu pindah ke bali, kemudian menjadi redaktur sastra di bali post. Di sana pun ia menjadi guru sejumlah seniman, seperti oka rusmini, cok sawitri, tan lioe ie, i wayan jenki sunarta, dan raudal tanjung banua. Oka rusmini.

Dok tempo/hariyanto oka rusmini mengatakan umbu sudah seperti ayahnya. Pertemuannya dengan umbu terjadi saat ia masih bersekolah di smp 1 denpasar pada 1983. Umbu mengajarkan sastra kepada oka dan kawan-kawannya. “ia tak menunjukkan diri sebagai tokoh, tak ada jarak, sangat telaten.

Sampai saya bekerja di bali post pun masih seperti itu,” ujar oka kepada tempo , rabu, 7 april 2021. Umbu akan menelpon, mencari alamat, dan mendatangi, memberi buku, mengirimi surat, serta mengikuti perkembangan seorang anak yang punya bakat. Ia pernah mengalami hal itu. “dia itu (seperti) guru zaman ki hajar dewantara.

Sabar, telaten, dan tanpa pamrih. Dia tahu mana yang punya potensi, lalu didekati, dikasih semangat.” umbu, menurut oka, sering mendatangi komunitas sastra anak muda dan membimbing mereka. Tak hanya di denpasar, tapi juga hingga ke klungkung, karangasem, gianyar, dan negara. Mereka menjadi lebih akrab ketika oka bergabung di bali post.

Tak jarang oka rusmini harus mengkurasi puisi yang masuk saat umbu kadang-kadang menghilang hingga beberapa bulan. Sifat unik umbu lainnya adalah kadang tak mau menemui orang yang mencarinya. Salah satunya penyair linus suryadi ag, muridnya di yogya dulu. Beberapa lama kemudian, linus meninggal.

“kadang saya marahi atau saya diemin. Tapi, setelah itu, dia minta maaf,” ujar penulis novel berjudul tarian bumi ini. Salah satu kebiasaan umbu, menurut oka, adalah suka berjalan kaki ke mana-mana, kecuali jika sedang tak enak badan, baru ia akan naik taksi. Tak hanya di bali, tapi juga ketika masih di yogya.

Dalam sebuah tulisan baru-baru ini, emha ainun nadjib bercerita bahwa umbu suka mengajaknya jalan kaki pada 1970-an. “hampir tiap malam kami jalan kaki menempuh sekitar 15 sampai dengan 20 km di jalanan yogya. Sebulan-dua bulan sekali kami mengukur jarak yogya ke magelang, ke klaten, ke wates, ke parangtritis, dengan jalan kaki,” demikian emha menulis. Umbu landu paranggi (kiri) dan emha ainun nadjib.

Dok instagram/kenduri cinta kebiasaan umbu jalan kaki juga diceritakan sastrawan mustofa w. Hasyim, murid umbu lainnya di persada studi klub, yogyakarta. Umbu sering pergi ke kota gede, sekitar tujuh kilometer dari kota yogyakarta, dengan berjalan kaki dan pulangnya mengambil jalan lain yang lebih jauh. Ia ke sana untuk menemui anak-anak muda, termasuk mustofa.

Ketika pergi ke luar kota yogya, biasanya ia naik bus hingga terminal, lalu diteruskan berjalan kaki ke desa-desa tempat acara berlangsung. Mustofa mengenal umbu pada 1971. Kala itu, ia berusia 17 tahun dan duduk di kelas 4 sekolah guru (pga iv th ma’had islamy kotagede). Namun, sejak smp, dia sudah mulai tertarik pada iklan pertemuan sastra di malioboro yang dimuat di koran langganan ayahnya.

Ia mengikuti “sekolah” umbu di jogja library, di dekat hotel garuda, yogyakarta, yang diadakan setiap ahad. “saya mbolos sekolah, istirahat pertama sampai istirahat kedua. Jadi, ikut pelajaran lagi pas jam terakhir. Tapi guru saya membiarkan saja,” ujar mustofa kepada tempo , sabtu, 10 april 2021.

Ia termasuk murid yang cukup istimewa. Ia tak hanya diperbolehkan menulis puisi, tapi juga esai, cerpen, dan novel. Bahkan sesekali ia ditugaskan membuat naskah monolog atau teater. Sementara itu, yang lain biasanya akan diarahkan sesuai dengan bakatnya.

Ada yang diarahkan menulis puisi, cerpen, esai, atau cerpen berbahasa jawa. “ebiet g. Ade dibiarkan menyanyikan puisi. Umbu melihat bakatnya di musik dan didorong kursus musik di tempat pak kusbini,” tutur mustofa.

Dalam mengajar sastra, umbu sangat keras. Untuk membuat puisi, seseorang harus tahu fakta sosialnya. “misalnya ia disuruh menulis puisi tentang pasar, ya, harus tahu jeroan pasar,” ujarnya. “enggak bisa cuma imajinasi,” ujarnya.

Ada pula anak muda yang disuruh menunggu patung sudirman seharian. Dia lalu diminta menjelaskan situasi di sekelilingnya. Dari fakta itulah umbu mengajarkan tentang masalah sosial secara tak langsung. Kendati keras, umbu tak pernah menunjukkan kemarahan dalam pertemuan dengan mereka.

Ia pun mengajari mereka dengan pendekatan personal. Kadang diajak mengobrol berdua. “ketika sudah berdua, wah, itu keringat dingin. Dihajar dengan kata-kata.

Saya mengalami itu.” mustofa terakhir bertemu dengan umbu dalam acara world culture forum di bali pada 2016. Ia merasa beruntung karena tak semua orang mau ditemui umbu. Mustofa merasa pertemuan selama sekitar dua jam itu paling berkesan. Saat itu, umbu sakit punggung gara-gara mengangkat galon, dan mustofa menawarkan untuk memijitnya dan sembuh.

Namun pada saat itu pula ia merasa sangat tertampar karena dua buku puisi yang dia berikan kepada umbu diacuhkan saja. Tak ada pembicaraan tentang puisi dan buku itu. Umbu malah bersemangat bercerita tentang kehidupan dan kemanusiaan. “saya malu, merasa masih seperti saat sekolah dulu, mandek.


Baca Juga

0  Komentar