Jalan Sunyi Cendekiawan Daniel Dhakidae

IJN   Sabtu, 10 April 2021

img

Jalan sunyi cendekiawan daniel dhakidae dua hal kontras acap terjadi dalam hidup manusia. Ada orang baik yang hidupnya tidak sukses secara ekonomi dan sosial meski sudah bekerja ekstra keras. Di lain pihak, ada banyak orang jahat yang justru meraih sukses di bidang ekonomi dan sosial walau tidak perlu bekerja keras. Kontras ini kerap dilihat sebagai sebuah absurditas dan membuat orang baik kecewa dan mungkin ragu menjadi orang baik.

Apalagi, banyak kejadian yang menunjukkan orang baik lebih cepat kehilangan nyawa. Sedang orang jahat memperoleh kekayaan material, kerap mendapatkan publikasi luas, dan panjang umur. Apa pun masalah yang terjadi dan konsekuensi pahit yang menimpa, menjadi orang baik adalah pilihan hidup yang benar. Pilihan hidup yang diputuskan setelah mendengarkan suara hati yang murni.

Hati nurani yang belum terkontaminasi oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Hati nurani yang selalu berkata: “dahulukan kepentingan umum, hak setiap warga negara, dan hak asasi manusia.” semujur-mujurnya orang jahat, jauh lebih mujur menjadi orang baik. Kita tidak boleh takut dan putus asa menjadi orang baik. Tidak ada absurditas dalam perjuangan menjadi orang baik di jalan sunyi.

Kita tidak boleh mundur dari pilihan menjadi orang baik. Kendati tidak mendapatkan apresiasi dan kontraprestasi yang wajar, kita harus senantiasa tekun bekerja di jalan sunyi untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Kontras ini dijelaskan kembali oleh romo setyo wibowo sj saat membawakan renungan singkat pada misa suci dan pemberkatan jenazah almarhum dr daniel dhakidae di rspad gatot subroto, rabu (7/4/2021). “jalan salib adalah jalan sunyi.

Salib adalah wahyu tuhan yang membebaskan kita dari ketakutan akan derita dan maut. Salib adalah wahyu tuhan untuk mendorong kita berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan, bekerja dengan jujur, mempertahankan integritas, dan bisa terus bergerak mewujudkan komitmen terhadap kemanusiaan,” papar romo. Daniel menghembuskan napas terakhir, selasa (6/4/2021), pukul 07.24 wib di rs mmc kuningan setelah mengalami serangan jantung pada pukul 03.00 dini hari. Jenazah disemayamkan di rumah duka rs gatot subroto jakarta dan dimakamkan rabu (7/4/2021) pagi di kampung kandang, ciganjur, jakarta selatan.

Daniel, kata romo setyo, adalah cendekiawan yang memiliki jalan sunyi. Sebagai penulis, pemikir, dan peneliti, ia bekerja dalam diam seumur hidupnya. Ia bukan figur yang mengejar popularitas dengan tampil di televisi dan media sosial. Namun, karya dan cara hidupnya memberikan kontribusi terhadap peradaban bangsa.

Ketangguhannya dalam menjaga independensi sebagai ilmuwan — dengan tetap menjaga jarak dengan kekuasaan politik dan kekuatan uang — membuat dirinya sukses melahirkan produk berkualitas yang sepenuhnya demi kepentingan nasional dan kemanusiaan. Bagi romo setyo, lewat karya dan contoh hidupnya, daniel sudah memanggul salibnya. Jalan sunyi yang dilaluinya adalah jalan salib. “jalan sunyi adalah jalan sebagai saksi tuhan dan perjalanan sebagai saksi tuhan akan membuahkan kebaikan dan keselamatan,” ungkap romo setyo.

Yesus yang tidak bersalah rela dipersalahkan dan setia memikul salib hingga wafat di kayu salib. Semua orang yang memberikan seluruh hidupnya untuk kebaikan bagi sesama akan memperoleh keselamatan. ”akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada bapa, kalau tidak melalui aku,” kata yesus (yohanes 14:6).

Jalan salib adalah jalan yesus. Jalan kebenaran dan kehidupan. Salib membebaskan manusia dari absurditas atau usaha yang sia-sia. Tidak ada penderitaan yang sia-sia.

Tidak ada kebaikan yang sia-sia. Tidak ada pemanggulan salib yang sia-sia. Lahir di toto-wolowae, nagekeo, flores, ntt, 22 agustus 1945, daniel meninggalkan rumah orang tua pada usia 11 tahun. Pada dua tahun terakhir sekolah rakyat (sr), ia harus meninggalkan kampung halamannya, wekaseko, untuk melanjutkan pendidikan kelas v dan vi sr di danga, mbay, kini ibukota kabupaten nagekeo.

Selepas sr, ia ke seminari mataloko hingga kelas vii dan selanjutnya ke seminari tinggi ritapiret di maumere, kabupaten sikka, flores. Hanya bertahan dua setengah tahun, dan baru di level novisiat dan tahun awal pendidikan filsafat, daniel ke yogyakarta, belajar di fisipol, universitas gadjah mada jurusan ilmu administrasi negara. Setelah tamat tahun 1975, daniel ke jakarta. Di ibu kota, ia sudah memiliki sejumlah teman seperjuangan sebagai aktivis malari, di antaranya dokter hariman siregar dan dr sjahrir almarhum.

Malari (malapetaka 15 januari 1974) adalah aksi demo mahasiswa menentang rezim orba yang otoriter dan terlalu lemah menghadapi investasi asing yang tidak fair. Aksi demo ini memicu kerusuhan sosial serius. Sejumlah aktivis ditangkap dan dipenjara. Sesuai minatnya, mulai 1976 daniel bekerja sebagai redaktur prisma , majalah milik lembaga penelitian, pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial (lp3es).

Ia kemudian dipercayakan sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum hingga 1984 untuk selanjutnya ke cornell university dan memilih department of goverment, ilmu politik, ithaca, new york dengan mengambil spesialisasi di bidang comparative politics sebagai major dan pilitical thought (filsafat politik) dan southeast asian studies sebagai minor. Suami lily muliati sanusi itu meraih master of arts bidang ilmu politik tahun 1987 dan phd tahun 1991. Disertasinya berjudul “the state, the rise of capital, and the fall of political journalism, political economy of indonesian news industry”. Disertasi tersebut mendapat penghargaan the lauriston sharp prize pada tahun yang sama, karena dinilai telah memberikan sumbangan luar biasa bagi perkembangan ilmu.

Setelah lulus dari cornell university, daniel bergabung dengan kompas pada 1991 dan dipercaya sebagai kepala litbang kompas sejak 1994 hingga 2006. Selain aktif di bidang akademis dan penelitian, daniel juga tercatat sebagai salah seorang pendiri yayasan tifa, sebuah lembaga nonprofit yang fokus kepada isu-isu strategis di indonesia. Pada 2009, daniel kembali mengaktifkan majalah prisma di tengah gempuran media digital. Selain menjadi pemimpin redaksi, pada tahun 2011, ia merangkap menjadi pemimpin umum.

Meneliti dan menulis adalah kegemaran hingga akhir hayatnya. Ia meninggal dalam status sebagai pemimpin redaksi majalah yang menjadi bacaan wajib kaum terpelajar pada dekade 1970-an hingga paruh pertama dekade 1990-an. Daniel adalah cendekiawan yang mengutamakan kualitas, bukan kuantitas. Buku yang ditulisnya tidak banyak, tetapi semuanya memukau dan memberikan sumbangan besar terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban.

Dalam buku “cendekiawan dan kekuasaan dalam negara orde baru” (2003) misalnya, daniel menguak sisi gelap sejarah indonesia yang selama ini menjadi pelajaran anak bangsa. Ia membongkar seluruh konspirasi sejarah yang selama ini menutup kebenaran. Tanpa buku “cendakiawan dan kekuasaan”, tidak ada pihak yang berani menguak kebohongan sejarah. Sejarah bangsa akan tetap gelap dan narasi yang ditulis justru semakin mendorong bangsa ini saling membenci.

Sejarah perjuangan kebangsaan indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran para cendekiawan. Ke depan, peran para cendekiawan kian dituntut. Mereka harus independen dan nonpartisan, agar kebijakan penguasa dan kiprah pemilik modal tetap selalu dikritisi. Dalam buku “menerjang badai kekuasaan” (2015), daniel menggambarkan dengan menarik sejumlah paradoks kekuasaan politik.

Paradoks pertama, “kekuasaan kaum tak berkuasa”. Pada bagian ini, daniel menjelaskan keanggunan sosok soe hok gie, poncke princen, toety azis, pramoedya ananta toer, dan rusli. Mereka tidak memegang kekuasaan politik. Namun, penguasa yang memiliki semua otoritas justru melihat mereka sebagai ancaman.

Paradoks kedua, “kekuasaan kaum terbuang”. Daniel menggambarkan posisi rohimah, taufik, kusni kasdut, dan henky tupanwael yang dipandang sebagai sosok dari dunia gelap. Mereka adalah penjahat yang harus dibuang dari masyarakat. Namun, mereka justru berkuasa dalam dunia “gelap” untuk kepentingan dunia “terang”.

Pada paradoks ketiga, “kaum berkuasa dan ke-tak-kuasa-an”, daniel mengulas tentang posisi mohammad hatta, margono djojohadikoesoemo, sam ratulangi, frans seda, abdurrahman wahid, dan soekarno. Separuh dari mereka lebih menunjukkan tragedi kekuasaan itu sendiri. Tragedi itu terletak pada ketidakberdayaan mereka yang sesungguhnya sangat mampu memecahkan soal demi harkat kemanusiaan. Ada sejumlah judul buku yang ditulis daniel dengan menarik di antaranya “perempuan, politik, dan jurnalisme” (1994) dan “social science and power in indonesia” (2004), yang disuntingnya bersama vedi renandi hadiz, profesor di department of sociology, national university of singapore.

Sebagai analis media massa, politik, sosial, dan kebudayaan, daniel tidak pernah berhenti meneliti dan menulis. Banyak mahasiswa era 1970-an hingga dekade 1990-an yang selalu mengikuti tulisan daniel di prisma , kompas , dan tempo. Meski tidak mengajar rutin di universitas, ia acap diminta untuk menguji para calon doktor, dalam dan luar negeri. “ verba volant, scripta manent ,” kata pepatah latin, yang artinya, “pesan lisan akan hilang, tetapi tulisan akan abadi.” tulisan daniel akan menjadi sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan dan peradaban bangsa ini.

: kak daniel, selamat paskah. Salam sehat dan damai. [9:05 am, 4/4/2021] dhaniel dhakidae : happy easter ade primus dan damai untuk seluruh keluarga. Cendekiawan sejati itu tetap setia melangkah di jalan sunyi hingga akhir hayatnya untuk mengembangkan peradaban serta membela kebenaran dan keadilan.

Jalan sunyi adalah jalan salib dan jalan salib bukan sebuah absurditas, melainkan jalan menuju keselamatan. “sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-nya”. (roma 6:5). Mereka yang setia memikul salibnya akan bangkit bersama yesus.


Baca Juga

0  Komentar