Kisah Tiga Pasukan Hijau dari Surabaya

Kompasiana   Rabu, 19 Mei 2021

img

Kisah tiga pasukan hijau dari surabaya kalau menyebut sepak bolanya surabaya, pasti tak lain dan tak bukan adalah persebaya. Tak akan ada yang menyebut persikubar atau surabaya united. Klub yang lekat dengan kostum hijau itu telah menjadi representasi kota pahlawan sejak didirikannya sebagai ahli waris soerabajasche indische voetbal bond (sivb). Para pendukungnya yang jamak disebut sebagai bonek bahkan sudah menjadi sebutan umum untuk para arek suroboyo.

Sudah menjadi hal umum di kompetisi sepak bola indonesia bahwa hanya ada satu tim dominan di satu kota. Sebut saja persebaya dengan surabaya, psis di semarang, jakarta dengan persijanya meski beberapa musim belakangan sering menjadi tim musafir. Bahkan persib dalam waktu yang langgeng menikmati sebagai klub bagi seluruh masyarakat jawa barat. Munculnya klub-klub macam pelita jaya karawang (kemudian pelita bandung raya ) hanya seperti tim gurem bagi persib.

Mungkin hanya mastrans bandung raya (mbr) yang sempat punya hagemoni singkat dengan juara ligina 1995-96, meski harus bubar di akhir musim depannya. Fenomena adanya dua matahari dalam satu kota tak terlepas dari keputusan pssi melebur galatama dan perserikatan pada 1994 bertajuk liga indonesia (ligina). Tapi di surabaya cerita agak berbeda, bukan dua, tapi tiga klub sekaligus bertarung dalam satu kota di ligina. Mereka adalah persebaya surabaya, mitra surabaya, dan assyabaab salim group surabaya (asgs).

Mitra dan asgs terlebih dahulu rutin bertemu sebab keduanya mentas bersamaan sebagai peserta galatama. Mitra surabaya adalah penerus klub niac mitra yang pernah juara galatama tiga kali. Bisa dibilang era 90an awal hingga pertengahan adalah keemasan sepak bola di surabaya. Bayangkan tiga klub sekaligus mewakili kota untuk berlaga di level tertinggi kompetisi sepak bola.

Bahkan ketiganya mempunyai warna kostum yang sama, yaitu hijau dan berlaga di stasion yang sama, yaitu gelora 10 november, tambaksari surabaya. Warga surabaya dan sekitarnya dimanjakan dengan tontonan sepakbola yang melimpah. Sportivitas selalu terjaga diantara ketiganya. Secara rutin surabaya mengirim wakilnya ke babak play-off liga dan puncaknya persebaya menyabet juara pada 1997 dengan menjungkalkan mbr di final setelah semusim sebelumnya persebaya dan mitra menduduki peringkat satu dan dua wilayah timur.

Mitra sendiri pernah menembus babak semifinal pada edisi 1995-96 dan asgs lolos ke play-off pada edisi perdana ligina. Animo warga surabaya waktu itu sungguh unik dengan bisa berganti dukungan tiap pekannya. Bila ada salah satu klub bermain, berbondong-bondong gelora 10 november akan dipenuhi para suporter, dan pekan depannya dapat dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sama dengan mendukung panji yang berbeda, diantara ketiga klub tersebut. Hal tersebut dapat dimaklumi, sebab mitra maupun asgs bermula dari akar yang sama, yaitu sebagai klub internal kompetisi persebaya yang kemudian diangkat investor untuk mengikuti galatama.

Tercermin dari pilihan warna kostum yang identik. Konten terkait kisah tiga orang bani isra’il (berpenyakit kusta, botak dan buta) kisah "rumus bagi tiga" jalan sederhana menuju keberkahan harta kisah dari negeri n kisah-kisah mistis merapi dari sudut pandang orang asli jogja meme tiga perempuan tiga kata belajar dari kisah salam tempel namun hagemoni itu hanya beberapa tahun saja terjadi seiring dengan masih adanya masalah klasik klub galatama, kesulitan finansial. Tanpa adanya sokongan dana melimpah, sangat sulit menjalankan klub untuk berkompetisi penuh mitra bahkan pernah mengalami pembubaran ketika terakhir kali bernama niac mitra pada 1990, agustinus wenas yang sejak berdirinya klub menyokong dana akhirnya melepas kepemilikannya ke grup jawa pos yang diawali dengan meruginya klub pada kompetisi edisi sebelumnya. Adalah asgs yang mengawali meninggalkan pesta bola surabaya di kompetisi tertinggi.

Vonis degradasi diterima asgs setelah hanya bertengger di posisi 10 dari 11 peserta wilayah timur ligina edisi ketiga (1996-97). Klub yang dirintis oleh para kaum peranakan hadrami semenjak 1930an ini mengawali cerita di galatama divisi 1 pada musim 1990. Berhasil promosi membuat assyabaab dilirik oleh group salim milik konglomerat sudono salim membiayai klub dan alhasil nama assyabaab menjadi assyabaab salim group surabaya. Indonesia mulai memasuki masa krisis moneter pada 1997, bertepatan dengan degradasinya asgs dari divisi utama ligina.

Salim group memutuskan untuk membubarkan tim alih-alih mengikuti divisi 1. Kondisi finansial salim group sendiri sebagai penyokong dana sedang limbung dan terancam bangkrut akibat dihajar krisis. Meski asgs bubar, hingga saat ini assyabaab masih ada sebagai klub amatir dan hingga beberapa tahun lalu berlaga sebagai klub internal persebaya. Sedangkan mitra harus benar-benar pamit dari surabaya pada 1999.


Baca Juga

0  Komentar