Modernisasi Alutsista TNI, Antara Kebutuhan Mendesak dan Keterbatasan Anggaran

Islam Today   Kamis, 27 Mei 2021

img

Modernisasi alutsista tni, antara kebutuhan mendesak dan keterbatasan anggaran (islamtoday id) – pasca tragedi kri nanggala-402 belum lama ini, sejumlah pihak mendesak diadakan evaluasi dan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik tni. Melalui berbagai kesempatan, menteri pertahanan (menhan) prabowo subianto juga telah mengungkapkan komitmennya untuk memodernisasi alutsista, namun terkendala oleh keterbatasan anggaran pertahanan. Prabowo mengatakan akan ada masterplan alutsista selama 25 tahun yang merupakan mandat khusus presiden jokowi. Bukan tak mungkin, masterplan itu menggantikan minimum essential force (mef).

Sementara beberapa waktu lalu, anggota komisi i dpr tb hasanuddin menyatakan bahwa pemerintah tengah merancang peraturan presiden masterplan modernisasi alutsista selama 25 tahun dengan skema pinjaman luar negeri senilai kurang lebih rp 1.760 triliun. Pemerhati militer institute for security and strategic studies (isess) khairul fahmi mengatakan, jika rancangan masterplan itu disetujui, maka indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5 persen dari pdb per tahun. “asumsinya, sebanyak 0,78 persen bersumber dari anggaran reguler dan sekitar 0,7 persen bersumber dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab,” kata khairul dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari cnn indonesia , rabu (19/5/2021).

Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (pdb) indonesia pada 2020 yang mencapai rp 15.434,2 triliun, maka angka yang dialokasikan pemerintah untuk masterplan alutsista selama 25 tahun hanya akan berada di angka 11,4 persen. Terlebih, bila angka pdb indonesia tahun lalu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, persentase jumlah yang direncanakan dari pdb disebut akan tampak lebih kecil, yakni sebesar 0,7 persen setiap tahun. “namun demikian, perlu untuk diingatkan bahwa masterplan itu tetap harus dibarengi dengan sejumlah langkah untuk memastikan akuntabilitasnya,” kata khairul. Menurutnya, ada lima hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, adalah penguatan peran dan fungsi komite kebijakan industri pertahanan (kkip). Kedua, pengaturan ketat terkait keterlibatan pihak ketiga agar dapat dijamin kapabilitas dan akuntabilitasnya. “ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan,” ujar khairul. Adapun hal keempat adalah perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan, dan dengan prioritas yang terukur, hingga skema penahapan pengadaan jika anggaran terbatas.

Terakhir, yakni penyediaan dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset, termasuk di lingkungan perguruan tinggi, serta pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk mengadakan inovasi. Modernisasi alutsista perlu jajak pendapat yang digelar kompas pekan lalu menyatakan bahwa masyarakat juga berharap agar indonesia mampu memproduksi alutsista secara mandiri di masa mendatang. Salah satunya melalui kerja sama dengan negara maju. 92,8 persen responden berpendapat bahwa pemerintah secara berkala perlu menambah alutsista dengan kualitas terbaru atau modernisasi.

Selain itu, masyarakat sepakat bahwa dari tiga matra tni, angkatan laut (al) harus diprioritaskan terkait modernisasi alutsista. Hampir separuh responden menyatakan, sangat perlu penambahan jumlah alutsista untuk matra laut. Penambahan dapat berupa pengadaan kapal perang, kapal selam, kapal patroli, maupun alutsista pendukung matra laut lain. Tingginya harapan responden pada prioritas pengadaan alutsista di matra laut ini disebut tak lepas dari tragedi kri nanggala-402.

Prioritas selanjutnya kemudian diharapkan kepada matra darat dan udara, dengan angka yang relatif berimbang, masing-masing di kisaran 26-27 persen. Secara umum bagi publik, tni adalah lembaga yang dibanggakan. Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, tni dinilai tetap mampu berkiprah dengan profesional dan berintegritas menjaga keutuhan nkri. Hal ini mendorong rasa empati dan penghormatan tinggi bagi institusi.

Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan publik menilai bahwa pemerintah kurang peduli terhadap penyediaan sarana dan prasarana yang memadai, terlebih terkait pengadaan alutsista yang memiliki deterrence effect (daya penggentaran) tinggi, serta menjamin keselamatan kerja maksimal. Penilaian itu tak lepas dari kekhawatiran responden yang cenderung tak yakin terhadap alutsista yang dimiliki negara saat ini. Kekhawatiran itu terungkap oleh separuh responden yang mengatakan bahwa kemungkinan tni memenangi pertempuran memperjuangkan kedaulatan negara adalah sangat kecil dengan kondisi alutsista saat ini. Dugaan ini berdasarkan persepsi responden yang menganggap alutsista indonesia belum semuanya andal.

Namun demikian, persepsi responden sendiri terhadap keandalan alutsista sangat beragam. Hampir sepertiga bagian responden menganggap sebagian besar alutsista tni berusia tua dan tidak modern, serta banyak alutsista yang sudah tidak layak lagi digunakan. Sebaliknya, sebagian responden lain justru menilai mayoritas alutsista indonesia sudah berteknologi modern dan baru. Keberagaman persepsi tersebut menunjukkan informasi mengenai kondisi alutsista indonesia masih terbatas.

Keraguan bahwa tni dapat memenangkan peperangan dengan alutsista yang tersedia mengindikasikan ketidakyakinan publik terhadap keandalan sebagian persenjataan tni. Indikasi itu juga diperkuat oleh tragedi kri nanggala-402 akibat blackout pada sistem kinerja kapal pada april lalu. Masyarakat tersadar, tugas yang disandang tni tidak mudah. Tni harus bersiasat dengan alutsista yang sebagian berumur tua dan tidak efisien, sehingga memiliki risiko kecelakaan tinggi.

Menyongsong kemandirian alutsista jajak pendapat yang sama menyatakan harapan publik agar suatu hari nanti pemerintah dapat memproduksi alutsista secara mandiri. Separuh lebih responden menginginkan indonesia membeli produk sekaligus menjalin kerja sama produksi alutsista dengan sejumlah negara maju, sehingga terjadi transfer teknologi yang akan memampukan indonesia membangun industri persenjataan. Terlebih, selama ini indonesia sudah memiliki pelaku industri strategis seperti pt pal indonesia, pt dirgantara indonesia, dan pt pindad. Melakukan pembelian produk sambil bekerja sama dengan negara produsen dinilai menjadi cara efektif membangun kemandirian nasional.

Indonesia dapat terlibat dalam proses produksi atau perakitan alutsista di negara asal, sebelum kemudian perakitan dituntaskan di tanah air. Masyarakat meyakini para tenaga ahli dalam negeri yang telah mendapatkan ilmu dan lisensi dari produsen akan dapat membangun dan meningkatkan kualitas alutsista produksi indonesia. Namun, ada dua hal yang harus jadi catatan dalam menyongsong kemandirian itu. Pertama, dibutuhkan anggaran besar untuk membeli alutsista yang akan diproduksi secara mandiri.

Dengan pembelian cukup banyak, bisa jadi produsen mau berbagi ilmu dan kuota produksi, sebagian di negara produsen dan sisanya di negara pembeli. Kedua, diperlukan diplomasi politik internasional yang kuat dengan negara produsen. Tanpa hubungan diplomatik dan kepentingan geopolitik yang sama, transfer teknologi dari negara produsen akan cenderung lebih sulit. Khususnya, terkait alutsista yang memiliki deterrence effect tinggi, seperti pesawat tempur, kapal perang, tank, persenjataan antiserangan udara, ataupun persenjataan balistik antarnegara.

Keseriusan pemerintah membangun kemandirian alutsista pun menjadi sangat penting. Selain sebagai penyedia anggaran dan mendapatkan kesepakatan transfer yang tidak mudah, posisi indonesia sebagai negara nonblok juga cukup dilematis. Umumnya, negara produsen alutsista yang kuat hanya bersedia menjalin kerja sama transfer dengan negara-negara sekutu politik. Misalnya, korea selatan dengan amerika serikat, atau korea utara dengan china dan rusia.

Tanpa kiblat jelas dengan sejumlah kekuatan geopolitik global itu, peluang mendapat transfer teknologi disebut relatif kecil. Di sisi lain, keluwesan indonesia membangun hubungan luar negeri berpotensi mendapatkan kerja sama dengan negara manapun tanpa memihak salah satu kepentingan politik. Artinya, peluang kemandirian alutsista indonesia tetap terbuka lebar. Sekitar 87 persen responden yakin suatu saat nanti indonesia akan mampu memproduksi alutsista secara mandiri, khususnya untuk alutsista yang memiliki kandungan komponen dalam negeri yang sangat besar, atau mayoritas made in indonesia.


Baca Juga

0  Komentar