Pemain Lokal & Kenangan Nonton PSM di Mattoanging

Kompasiana - latest   Minggu, 28 Maret 2021

img

Pemain lokal & kenangan nonton psm di mattoanging hari sabtu (27/3/2021), saya secara khusus mengekan kaos berlogo psm hadiah dari sahabat cantik beda generasi, andi widya syadzwina, tandem menulis buku satu abad psm mengukir sejarah (2020). Sebelum berangkat ke kantor koni sulsel untuk berkantor hingga menjelang pergantian hari, saya ingat, psm akan bertanding melawan bhayangkara fc di malang dalam kejuaraan sepakbola menpora. Saya berharap dengan mengenakan baju psm secara psikologis dan pendekatan emosional melalui komat-kamit mulut yang melantunkan doa dalam hati bagi kemenangan kesebelasan besutan syamsuddin batola tersebut. Saya memang sudah 15 tahun tidak menonton langsung pertandingan psm di stadion mattoanging dan hanya menonton melalui siaran langsung tv.

Selain sudah tidak turun ke lapangan, meskipun tetap merasa diri tetap wartawan hingga kini, kericuhan yang selalu memicu suporter saat timnya kalah, kerap mencegah saya pergi menonton. Saya memang punya pengalaman buruk saat menonton sambil meliput. Itu terjadi sekitar tahun 2004/2005, pada tahun itu, saya sebenarnya tidak perlu datang menonton sendiri di lapangan sekaligus meliput, tetapi kala itu, harian "pedoman rakyat" tidak memiliki wartawan foto. Dua wartawan foto yang dimiliki mediqa tertua yang sudah tinggal nama ini , b.ph.m.rompas, wartawan foto kawakan yang pernah menjadi fotografer jenderal m.jusuf ketika menjabat pangdam xiv hasanuddin, khususnya saat operasi kilat saat qajar mudzakkar memberontak, usianya sudah uzur.

Sementara seorang wartawan foto lainnya, syafruddin tang sudah memilih menjadi pengusaha pengangkut batu bara di kalimantan timur. Memang ada wartawan tulis yang bisa memegang kamera, tetapi untuk urusan memotret pertandingan sepakbola yang rata-rata berlangsung malam hari, saat penggunaan lampu blitz (lampu kamera) dilarang, teman-teman angkat tangan. Maka, apa boleh buat saya terpaksa turun daripada berita pertandingan dimuat tanpa gambar. "mestinya, seorang pemimpin redaksi tidak perlu turun meliput di lapangan," syarif may, wartawan lkbn "antara" makassar berkata kepada saya.

"seharusnya seperti itu, tetapi jabatan sebagai pemimpin redaksi tidak mampu menahan saya turun sendiri meliput, khususnya memotret pertandingan sepakbola," balas saya. Wartawan foto tidak disediakan tempat duduk khusus. Mereka boleh "merumput" (duduk di atas rumput) di dekat pojok, di belakang gawang. Ya, sekitar 2-3 m dari garis gawang.

Sebab, di posisi inilah para mat kodak memperoleh peluang menghasilkan momen "scrimage: (perebutan bola di depan gawang) yang menarik dipajang di halaman surat kabar. Namun yang paling dicari adalah momen saat bola dalam perjalanan (melayang) menuju jaring penjaga gawang yang "dijagai" para wartawan foto. Memotret momen-momen spektakuler seperti ini memang gampang-gampang susah. Mata harus terus melengket di belakang jendela bidik kamera saat bola mulai mendekat ke gawang.

Sebelum tahun 2005, kamera yang saya gunakan masih pakai rol film yang untuk melihat hasilnya harus melalui proses di kamar gelap. Tetapi pada tahun 2005 itu saya sudah menggunakan kamera digital yang mengandalkan memori. Jadi secapek-capeknya kita memotret tinggal pilih jepretan yang sangat "maut". Jika menggunakan kamera manual yang mengandalkan rol film, kamera harus dilengkapi dengan "motor drive", sehingga kamera akan berganti jepretan setiap selesai menjepret.

Sekali waktu, saya dan teman galib almarhum (wartawan foto harian fajar) mengambil posisi di bagian selatan lapangan stadion mattoanging. Ya biasa, duduk di atas rumput di belakang gawang. Ada juga kursi taman kanak-kanak yang sengaja saya bawa dari rumah. Jumlah wartawan foto ketika itu, ada beberapa dan kami duduk berjejer.

Pemandangan wartawan yang duduk berjejer di pinggir lapangan tepat di belakang gawang ternyata mengganggu para penonton di tribun terbuka di sebelah selatan. Tiba-tiba saja, satu batu kecil mampir di kepala saya. Hebat juga penonton itu melempar dan membidik mengenai kepala saya. Saya kaget saja, untung tidak luka karena batunya kecil.

Kalau saja dilempar oleh katapel, mungkin kepala saya sudah luka dan berdarah, sejak saat itu, kami menyingkir agak ke pinggir, jauh dari gawang. Pada pertandingan psm berikutnya, kami menghindari duduk di belakang gawang selatan. Ya, takut saja, terulang lagi batu melayang dan mengenai kepala. Di bagian utara, kami dapat akal.


Baca Juga

0  Komentar