Produksi Tak Cukup Jadi Alasan Pemerintah Jor-joran Impor Garam

Islam Today   Senin, 26 April 2021

img

Produksi tak cukup jadi alasan pemerintah jor-joran impor garam (islamtoday id) – indonesia hingga detik ini masih mengimpor garam setiap tahunnya. Padahal indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, yakni mencapai 95.181 kilometer. Impor garam kembali melonjak tahun 2021 dan menjadi sorotan belakangan ini. Berdasarkan data badan pusat statistik (bps), seperti dikutip dari cnbc indonesia , impor garam indonesi pada maret 2021 adalah 299.736 ton.

Realisasi ini naik 275 persen dari februari 2021 sebanyak 79.929 ton. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, impor garam ini naik 54,02 persen, yang mana pada maret 2020 impor sebesar 194.608 ton. Secara kumulatif di kuartal i-2021, impor tercatat sebanyak 379.910 ton atau naik 19,60 persen dibandingkan dengan kuartal i-2020 sebanyak 317.642 ton. Impor garam yang jor-joran ini dikarenakan produksi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Menurut catatan kementerian perikanan dan kelautan (kkp), ri punya lahan garam seluas 27.047,65 hektare. Dalam 10 tahun terakhir rata-rata impor garam indonesia mencapai 2,3 juta ton. Nilai impor garam indonesia adalah 100 juta dolar as per tahun atau setara dengan rp 1,45 triliun per tahun dengan asumsi kurs rp 14.500 per dolar as. Indonesia biasanya mendatangkan garam impor ini dari australia dan india sebagai pemasok terbesar.

Mengutip hasil riset forum diskusi ekonomi politik (fdep), belum mampunya indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam dalam negeri ini disebabkan oleh banyak faktor. Pertama, masa musim kemarau di indonesia itu pendek, yakni hanya sekitar 4-5 bulan. Jika dibandingkan dengan australia yang mampu menjadi 10 besar negara pengekspor garam dunia misalnya, negeri kangguru itu memiliki iklim panas hampir sepanjang tahun sehingga memiliki kemampuan lebih besar untuk memproduksi garam melalui proses penguapan air laut dengan bantuan panas matahari. Kedua, kelembapan udara di indonesia cukup tinggi, yakni sekitar 60-70 persen.

Kondisi ini merupakan faktor penghambat dalam proses penguapan air laut menjadi kristal garam. Adapun australia memiliki kelembapan udara yang rendah, yakni sekitar 20-30 persen. Ketiga, peralatan dan cara produksi garam di indonesia masih dilakukan secara tradisional. Akibatnya mutu garam yang dihasilkan rendah.

Kadar nacl dalam garam yang dihasilkan dengan cara tradisional ini hanyalah sekitar 88-92,5 persen. Mutu ini cukup jauh berbeda dengan mutu garam australia yang sudah menerapkan inovasi teknologi (isolator) pada proses pembuatannya. Kadar nacl dalam garam yang dihasilkan australia adalah lebih dari 96 persen. Keempat, petambak garam rakyat di indonesia kurang mendapat pembinaan sehingga mereka kesulitan menaikkan produktivitas garam, serta menghasilkan garam berkualitas tinggi.

Berbeda dengan australia, di sana tambak garam dikelola oleh sumber daya manusia yang profesional. Kelima, luas areal tambak garam rakyat di indonesia tergolong sempit dan berpencar-pencar. Rata-rata luasnya hanya 0,5 hektare per petambak. Berbeda dengan lahan tambak garam australia yang luas dan tertata rapi.

Semua faktor ini kemudian berdampak pada produktivitas garam yang dihasilkan. Rata-rata produksi garam rakyat di indonesia dalam kondisi normal adalah 60 ton per hektare tambak garam. Sementara produksi garam di australia bisa mencapai 350 ton per hektare. Faktor pertama dan kedua lebih karena pengaruh alam.

Namun, faktor ketiga, keempat, dan kelima adalah karena pengaruh manusia. Apabila pemerintah dan pelaku industri tambak garam tak juga membenahi ketiga faktor terakhir itu, jumlah produksi garam dalam negeri ini tak akan pernah bisa mencukupi kebutuhan domestik kita. Asosiasi industri pengguna garam indonesia (aipgi) memperkirakan kebutuhan garam di 2025 akan mencapai 7 juta ton. Kemudian kebutuhan garam tahun 2030 kemungkinan akan di angka 10 juta ton.

Adapun jumlah produksi garam di indonesia saat ini hanya sekitar 60 ton per hektare dikali 27.000 hektare, yakni tak sampai 2 juta ton. Selisih berjuta-juta ton itu akan terus menjadi alasan para pemburu rente untuk mencari ceruk keuntungan dari impor garam. Ceruk itu akan semakin besar selama celah ketimpangan jumlah produksi dan kebutuhan konsumsi garam di negeri ini tak pernah ditutup dengan perbaikan-perbaikan yang progresif. [national geographic].


Baca Juga

0  Komentar