Antiklimaks PPN

Investor   Senin, 17 Mei 2021

img

Antiklimaks ppn negeri ini sudah empat kuartal berturut-turut didera kontraksi ekonomi. Semula para pejabat di lingkup bidang ekonomi penuh harap dan percaya diri bahwa kuartal iv-2020 atau kuartal i-2021 pertumbuhan produk domestik bruto (pdb) sudah positif. Tampaknya kita semua harus menerima kenyataan pahit, meski banyak negara lain menanggung kontraksi ekonomi lebih dalam. Pertumbuhan pdb minus selama empat kuartal berturut-turut sudah bisa menjelaskan banyak hal bagaimana parahnya ekonomi kita.

Bagaimana menderitanya sebagian besar rakyat kita, terutama yang masuk kategori miskin dan para karyawan atau buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja. Konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor pertumbuhan ekonomi, dengan andil sekitar 56%, selama pandemi covid benar-benar tidak berdaya. Itulah sebabnya pemerintah menggelontorkan besar-besaran stimulus ekonomi sejak tahun lalu, dan berlanjut tahun ini dengan besaran rp 695 triliun. Stimulus ini memiliki tujuan utama menyelamatkan dan mendorong daya beli masyarakat yang tergerus hebat akibat pandemi, sekaligus mencegah dunia usaha dari kebangkrutan, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (umkm).

Selain memberikan bantuan perlindungan sosial lewat berbagai paket program, stimulus diberikan kepada dunia usaha lewat insentif usaha, pajak yang ditanggung pemerintah, dan program penjaminan kredit. Otoritas jasa keuangan (ojk) meluncurkan kebijakan relaksasi kredit bagi perbankan dan keringanan pembiayaan bagi multifinance. Lewat dispensasi ini, bank tidak perlu menyisihkan cadangan untuk kredit yang direstrukturisasi. Langkah pemerintah menggelontorkan stimulus besar-besaran memang harus dibayar mahal.

Defisit anggaran membengkak, tahun ini sekitar 5,7% dari pdb. Pemerintah harus menerbitkan surat berharga negara (sbn) lebih banyak dan bank indonesia pun harus repot ikut menyerap. Bi dan pemerintah berbagi beban, agar likuiditas mencukupi dan belanja apbn, khususnya bantuan sosial, terjamin aman. Selain itu, besarnya insentif usaha dan pajak yang ditanggung pemerintah membuat penerimaan pajak berkurang sangat signifikan.

Ditambah lagi, pemerintah menurunkan pajak penghasilan (pph) badan guna menaikkan daya saing iklim bisnis. Tarif pph badan diturunkan bertahap dari 25% menjadi 22%. Bahkan untuk perusahaan terbuka, tarifnya dikurangi lagi sebesar 3%. Penurunan ini tentu saja bakal menggerus pundi-pundi keuangan negara yang bersumber dari pajak korporasi.

Atas dasar itu, sumber-sumber alternatif penerimaan negara harus digali dan digenjot, karena defisit apbn harus dikembalikan normal di bawah 3% pdb pada 2023. Dalam konteks itulah pemerintah mewacanakan ide untuk menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (ppn), yang rencananya diberlakukan tahun depan. Ada sejumlah alasan yang mendorong pemerintah menaikkan tarif ppn. Pertama, memenuhi target penerimaan ppn yang tahun depan diskenariokan rp 1.499,3 - 1.528,7 triliun, sekaligus menjaga sustainabilitas fiskal seiring komitmen pemerintah menurunkan defisit apbn.

Kedua, tarif ppn indonesia terbilang rendah. Saat ini, rata-rata tarif ppn global berkisar 11-30%. Sekitar 104 negara menerapkan tarif ppn di atas 11%. Ada delapan negara yang memberlakukan tarif ppn 10%, termasuk indonesia.

Pertimbangan ketiga, efektivitas pemungutan ppn di indonesia tergolong rendah. Indonesia baru mampu mengumpulkan 63,58% dari potensi ppn. Level itu masih kalah dibanding singapura sebesar 92,69% dan thailand 113,83%. Rasio ppn kita terhadap pdb kita pun tergolong rendah.

Direktorat jenderal pajak menyodorkan dua skenario perubahan tarif ppn. Pertama, kenaikan dengan tarif tunggal. Skema ini harus dibarengi dengan penerbitan peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana uu 46/2009 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. Karena dalam uu itu, tarif ppn berada dalam rentang 5-15%, sementara pemerintah saat ini hanya mematok 10%.

Skenario kedua, pemerintah menerapkan multitarif ppn yang sudah dianut banyak negara. Model ini dinilai lebih adil karena menerapkan tarif ppn rendah untuk barang-barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah dan tarif tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah. Jika skenario ini yang dipilih, pemerintah harus merevisi uu no 46/2009. Argumen dan pertimbangan yang diungkapkan direktorat jenderal pajak cukup logis, rasional, sah-sah saja.

Namun dengan catatan, situasi ekonomi normal. Padahal saat ini masyarakat dan dunia usaha baru mau siuman setelah lama masuk unit gawat darurat. Mereka baru hendak bangkit, setelah melihat cahaya di ujung terowongan. Ibarat badan masih limbung, tiba-tiba hendak dihajar dengan kenaikan tarif ppn.

Bukan hanya masyarakat yang menderita karena kenaikan ppn, tapi dunia usaha akan kembali terpukul. Itulah sebabnya, pemerintah harus mengurungkan niat ini, setidaknya menunda hingga masyarakat dan dunia usaha benar-benar siap. Pemerintah perlu menggunakan kreativitas dan inovasi untuk menggali sumber penerimaan. Untuk pph, potensinya masih luar biasa besar.

Terutama pph badan di sektor pertambangan, perkebunan, dan sektor yang berbasis sumber daya alam masih banyak yang belum tergali. Demikian juga pajak ekonomi digital yang perkembangannya luar biasa, indonesia masih banyak kecolongan pajak. Untuk pph orang pribadi, banyak pajak profesi yang belum membayar pajak secara benar, khususnya kelas atas. Mulai dari pejabat birokrasi, legislator, artis, pengacara, dokter, serta profesi-profesi dengan pendapatan tinggi dan multi-sumber.

Intinya, masih banyak jalan bagi pemerintah untuk meraih sumber pemasukan, asal mau bekerja keras dan kreatif. Masyarakat dan dunia usaha belum siap untuk ditimpa beban lagi. Atas alasan apapun, gagasan menaikkan tarif ppn bukan hanya salah momentum, tapi bisa menjadi kontraproduktif, dan juga antiklimaks. Editor : totok subagyo (totok_hs@investor.co.id).


Baca Juga

0  Komentar