Ekonomi Digital: Pedang Bermata Dua

Investor   Rabu, 28 April 2021

img

Ekonomi digital: pedang bermata dua ekonomi digital adalah keniscayaan. Dalam beberapa tahun mendatang, semua sektor ekonomi bakal terhubung secara digital. Itu sebabnya, para pelaku bisnis kini berlomba-lomba melakukan transformasi digital. Perusahaan yang tak ramah digital bakal tersingkir.

Individu yang gagap digital, siap-siap terisolasi. Ekonomi digital melahirkan banyak cerita manis. Berkat ekonomi digital, ekonomi indonesia tahun lalu hanya terkontraksi atau minus 2,07%. Ketika pembatasan sosial berskala besar (psbb) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (ppkm) diterapkan, masyarakat masih bisa berbelanja, mengirim barang, berjualan, dan bekerja dari rumah secara online.

Berdasarkan data e-conomy sea 2020 yang dirilis google, temasek, dan bain & company, ekonomi digital di indonesia pada 2020 tumbuh 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Ekonomi digital berkontribusi sekitar rp 619 triliun terhadap perekonomian nasional. Tak diragukan lagi, ekonomi digital menjadi penyelamat saat ekonomi konvensional dicabik-cabik pandemi covid-19. Ekonomi digital akan terus tumbuh.

Dengan populasi 274,86 juta jiwa per akhir 2020 (laporan worldometers), yang sepertiganya adalah kelas menengah, indonesia merupakan pasar yang amat besar. Apalagi, dalam kondisi normal, konsumsi masyarakat indonesia rata-rata naik 5,4% per tahun. Lebih dari itu, separuh dari penduduk indonesia sudah menggunakan internet. Wajar jika ekonomi digital indonesia digadang-gadag menjadi salah satu yang terbesar di asia.

Dalam proyeksi bank indonesia (bi), transaksi perdagangan secara elektronik ( e-commerce ) akan melonjak 33% dari rp 253 triliun pada 2020 menjadi rp 337 triliun pada 2021. Transaksi uang elektronik diperkirakan naik 32% dari rp 201 triliun menjadi rp 266 triliun. Sedangkan transaksi digital banking diprediksi tumbuh 19% dari rp 27.000 triliun menjadi rp 32.200 triliun. Namun, ekonomi digital tak selalu melahirkan cerita indah.

Cerita pahit dan getir kerap mengiringinya. Baru-baru ini muncul cerita mengenaskan tentang kebangkrutan sebuah usaha mikro, kecil, dan menengah (umkm) asal indonesia yang dipublikasikan sebuah lembaga internasional. Umkm yang menggeluti bisnis busana muslim ini sempat mencapai masa gilang-gemilang dengan mempekerjakan 3.400 karyawan. Kini, umkm itu tinggal nama.

Sebuah perusahaan asing asal tongkok menyadap seluruh informasi tentang umkm tersebut, mencuri datanya, dan membuat produk serupa di tiongkok, kemudian memasarkannya di indonesia, lewat marketplace , dengan harga jauh lebih murah. Total bea masuk yang dibayarkan perusahaan tiongkok dari impor hijab hanya us$ 44.000, namun mereka telah menghancurkan industri umkm di indonesia yang membayar gaji 3.400 karyawannya sebesar us$ 650.000. Umkm yang gulung tikar akibat serangan impor di marketplace lewat praktik predatory pricing -- mematok harga sangat rendah untuk mematikan pesaing pada produk sejenis -- sudah tak terhitung. Jika bangkrut karena kalah bersaing secara sehat, tentu bisa dimaklumi.

Namun, kebangkrutan akibat praktik perdagangan tidak adil ( unfair trade ) sulit diterima. Bisa dipahami pula jika presiden jokowi, baru-baru ini, dengan nada emosional, meminta semua pihak menangkal praktik predatory pricing melalui e-commerce. Presiden secara terang-terangan menyatakan bahwa predatory pricing telah membunuh para pelaku umkm indonesia. Dari kasus ini pula kemudian berembus ajakan ‘membenci’ produk-produk asing.

Predatory pricing baru satu dari sekian banyak unfair trade yang telah menghancurkan umkm indonesia. Praktik unfair trade lainnya yang membuat umkm domestik kalah bersaing di platform e-commerce adalah penjualan barang impor bermerek hasil selundupan --bisa asli, bisa pula palsu-- yang sangat murah. Masyarakat akan terdorong membeli produk bermerek ( branded ) yang harganya jauh lebih murah dari produk lokal sejenis. Praktik cross-border ilegal ini tidak hanya merugikan pemegang hak impor resmi, namun juga para pelaku umkm lokal.

Konsumen pun turut dirugikan karena keaslian produknya tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga berisiko mengancam kesehatan dan keselamatan. Sudah barang tentu pemerintah ikut dirugikan karena para penyelundup tidak membayar pajak. Kita, secara jujur, harus mengakui bahwa ekonomi digital adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menguntungkan perekonomian nasional.

Kegiatan ekonomi akan berlangsung efisien dan transparan sehingga biayanya lebih murah dan terukur. Di sisi lain, ekonomi digital bisa merugikan karena dapat menghancurkan para pelaku ekonomi di dalam negeri, membahayakan kesehatan dan keamanan masyarakat, serta merugikan negara. Berkaca pada fakta-fakta tersebut, kita mendesak regulator untuk merumuskan berbagai cara agar para pelaku ekonomi, masyarakat konsumen, dan negara tidak dirugikan oleh praktik unfair trade dalam platform e-commerce. Terlebih ke depan, ekonomi digital akan menjadi kekuatan dahsyat yang tak bisa dibendung.

Dari sekaranglah upaya mengawal ekonomi digital harus dilakukan. Kita mengapresiasi kerja keras pemerintah, bi, dan otoritas jasa keuangan (ojk) dalam mendorong akselerasi ekonomi digital. Berbagai kebijakan telah diterbitkan para regulator. Namun, mengingat masih banyaknya cerita kurang sedap tentang dampak ekonomi digital, kita mendorong para regulator untuk lebih peka terhadap perkembangan yang terjadi di lapangan.

Kita juga perlu mengingatkan bahwa isu ekonomi digital bukan semata soal perlunya umkm memiliki akses internet atau perlunya memacu pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (tik) di daerah 3t (terluar, terdepan, dan tertinggal). Juga bukan semata soal mendesaknya penyediaan internet berkecepatan tinggi, undang-undang (uu) perlindungan data pribadi, dan kemudahan-kemudahan yang harus diberikan kepada masyarakat untuk bertransaksi secara digital. Ada substansi yang tak boleh dilupakan bahwa ekonomi digital adalah alat untuk menyejahterakan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Dengan demikian, semua upaya dan kebijakan ekonomi digital harus sepenuhnya berpegang pada prinsip-prinsip tersebut.


Baca Juga

0  Komentar