Menakar Beban Utang PLN Rp 649 Triliun yang Konon untuk Investasi dan Operasional

Islam Today   Rabu, 26 Mei 2021

img

Menakar beban utang pln rp 649 triliun yang konon untuk investasi dan operasional (islamtoday id) – pt pln (persero) tercatat memiliki utang sebesar rp 649,2 triliun pada akhir 2020. Jumlah tersebut terdiri dari utang jangka panjang sebesar rp 499,58 triliun dan utang jangka pendek rp 149,65 triliun. Berdasarkan laporan keuangan pln, utang jangka panjang pln didominasi oleh obligasi dan sukuk sebesar rp 192,8 triliun, utang bank sebesar rp 154,48 triliun, utang imbalan kerja rp 54,6 triliun, liabilitas pajak tangguhan rp 31,7 triliun, dan penerusan pinjaman rp 35,61 triliun. Kemudian, ada pendapatan ditangguhkan rp 5,6 triliun, utang sewa rp 14 triliun, utang kepada pemerintah dan lembaga keuangan non bank rp 3,6 triliun, utang listrik swasta rp 6 triliun, utang kik-eba rp 655 miliar, utang pihak berelasi rp 9,4 miliar, dan utang lain-lain rp 182 miliar.

Sementara utang jangka pendek didominasi utang pihak ketiga rp 30,6 triliun, utang bank rp 18,8 triliun, utang obligasi dan sukuk rp 14,9 triliun, hingga uang jaminan langganan rp 14,8 triliun. Meski demikian, jika dibandingkan periode sama 2019 yang mencapai rp 655,67 triliun, posisi utang pln relatif berkurang. Pada tahun sebelumnya, utang jangka panjang mencapai rp 496,37 triliun sementara utang jangka pendek sebesar rp 159,29 triliun. Dalam rapat dengar pendapat dengan komisi vi dpr ri pada kamis (25/6/2020) lalu, direktur utama pt pln (persero) zulkifli zaini mengungkapkan bahwa utang pln itu untuk membiayai proyek infrastruktur listrik 35.000 mw hingga pertengahan 2020 sudah mencapai di atas rp 600 triliun.

Sepanjang 2015-2019 pemerintahan jokowi mencanangkan program listrik 35.000 mw dengan dua tujuan utama. Pertama, menyediakan infrastruktur dasar di bidang kelistrikan untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan mencapai sebesar 7 persen per tahun. Kedua, menyediakan listrik untuk warga yang selama ini mengalami defisit pasokan dan yang belum pernah menikmati listrik sama sekali, dengan target 100 persen rasio elektrifikasi. Hasilnya memang terasa terutama pada pencapaian tujuan kedua.

Listrik dapat dihadirkan sampai ke titik-titik tersulit, wilayah tertinggal, terluar, terpencil (3t), dengan rasio elektrifikasi mencapai 98,6 persen. Sementara wilayah yang tadinya mengalami defisit juga telah teratasi dengan makin turunnya angka pemadaman atau gangguan secara signifikan. Pemerintah menugaskan pln untuk mengerjakan proyek listrik 35.000 mw itu dengan skema pembiayaan non-apbn. Dengan skema tersebut, pln tidak punya pilihan lain kecuali menggandeng swasta dalam negeri dan asing dengan skema independent power producer (ipp).

Untuk pembangunan proyek listrik 35.000 mw, proporsi ipp sebesar 70 persen, sedangkan proporsi pln sebesar 30 persen. Untuk membiayai pembangunan pembangkit listrik, transmisi, dan distribusi di titik-titik yang diskenariokan akan menjadi basis pertumbuhan ekonomi baru, pln menggunakan sumber internal dan sumber eksternal, baik dari utang perbankan dalam negeri, maupun global bond dari pasar uang internasional. Penggunaan utang itu terlihat dalam laporan keuangan tahunan pln sepanjang 2015-2019 yang menujukkan utang pln meningkat sebesar rp 220 triliun dari posisi utang 2014 sebesar rp 234 triliun naik menjadi rp 455 triliun pada akhir 2019. Ada hasil usaha pln apakah utang sebesar itu salah? tentu saja tidak.

Pasalnya, tambahan utang sebesar rp 220 triliun tersebut juga disertai dengan peningkatan nilai investasi lebih rp 419 triliun. Dengan demikian, tidak seluruh pengeluaran investasi (capital expenditure/capex) dan pengeluaran operasi (operational expenditure/opex) pln dibiayai 100 persen dari utang. Tetapi sekitar 48 persen, lebih besar daripada persyaratan minimum 30 persen, sesungguhnya bersumber dari dana internal, yang dibentuk dari hasil usaha pln. Pengajuan utang untuk membiayai capex dan opex suatu korporasi, baik kepada perbankan di dalam negeri maupun investor internasional, sudah pasti mensyaratkan adanya modal sendiri dari korporasi tersebut.

Utang sebesar rp 100 triliun misalnya, mensyaratkan adanya modal sendiri sebesar minimal 30 persen, sehingga utang yang diberikan pemberi kredit maksimal sebesar rp 70 triliun. Kalau bank nasional memaksakan memberikan utang kepada pln dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian, bank tersebut pastilah akan mendapatkan peringatan dari otoritas jasa keuangan (ojk), yang justru membahayakan bagi bisnis perbankan itu sendiri. Dalam konteks utang yang didapatkan oleh pln mencapai sekitar rp 500 triliun dalam lima tahun terakhir telah digunakan untuk membiayai capex dan opex. Pln sebenarnya juga menggunakan sumber internal dari kas pln sendiri.

Berdasarkan laporan keuangan tahunan pln yang dikonsolidasikan dalam lima tahun menunjukkan pembiayaan capex dan opex dari sumber utang sebesar rp 219 triliun, sedangkan penggunaan sumber internal dari kas pln sebesar rp 220 triliun. Dengan demikian, tidak benar bahwa seluruh capex dan opex pln 100 persen dibiayai dari utang. Dengan proporsi antara sumber dana internal dan eksternal, struktur keuangan pln dikategorikan sehat dan layak diberikan utang sesuai dengan prinsip prudential banking. Apalagi, pln selama ini sudah terbukti mampu membayar kewajiban utang jangka pendek dan jangka panjang tepat waktu.

Dalam kondisi tersebut tidak mengherankan kalau pln masih sangat dipercaya baik oleh perbankan nasional, maupun pasar uang international. Selama ini, bank nasional selalu mengucurkan utang sesuai yang diajukan pln. Keberhasilan pln menerbitkan global bond untuk kesekian kalinya juga membuktikan bahwa investor global mempercayai pengelolaan keuangan pln yang senantiasa dikelola secara prudent, tetapi juga mempercayai kemampuan pln dalam membayar utang tersebut. Dalam membangun proyek listrik 35.000 mw, pln memang harus berutang, baik dari perbankan nasional, maupun pasar uang interntional dengan menerbitkan global bond.

Selama proyek pembangkit dapat dioperasikan, yang akan mencetak pendapatan untuk mengangsur utang jangka pendek dan jangka panjang, utang pln sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan. Ketimbang menyoal utang, barangkali akan lebih baik jika pln dapat bekerja lebih keras untuk memulihkan permintaan daya listrik, yang sempat turun akibat dihajar oleh pandemi covid-19. Selain itu, pln perlu melakukan penataan dan pemetaan ulang dengan mempertimbangkan progres pembangunan proyek 35.000 mw agar tidak terjadi kekurangan dan kelebihan pasokan daya listrik. Penataan dan pemetaan ulang itu sebaiknya dituangkan ke dalam dokumen ruptl 2020 sebagai acuan pengusahaan kelistrikan di tanah air.


Baca Juga

0  Komentar