Merintis Ekosistem Digital Rupiah

Investor   Selasa, 18 Mei 2021

img

Merintis ekosistem digital rupiah kepopuleran mata uang kripto ( cryptocurrency ) belakangan ini agaknya belum cukup kuat untuk mengubah pendirian bank indonesia (bi). Hingga kini, bi masih dalam posisi terus mengkaji manfaat dari penerbitan uang digital rupiah atau yang lebih dikenal dengan sebutan central bank digital currency (cbdc). Dalam pandangan bi, penerbitan cbdc di indonesia belum terlalu urgen. Secara yuridis, uang kripto (bitcoin, misalnya) tidak bisa digunakan sebagai alat tukar.

Undang-undang mata uang tegas mengamanatkan transaksi di seluruh wilayah republik indonesia wajib menggunakan rupiah sebagai medianya. Dengan alasan yuridis ini pula, uang kripto agaknya ‘dilokalisasi’ menjadi aset finansial. Aset kripto telah resmi terdaftar di badan penga was perdagangan berjangka komoditi (bappebti). Tahun lalu sudah ada 226 jenis uang kripto yang diperdagangkan dengan nilai transaksi rp 70 triliun.

Upaya memosisikan uang kripto sebagai produk investasi agaknya terjustifikasi dari otoritas lain. Kementerian perdagangan berencana akan mendirikan bursa khusus aset kripto. Bahkan kementerian keuangan hendak memungut pph (pajak penghasilan) atas perolehan capital gain dari transaksi aset kripto. Metamorfosis uang kripto menjadi stablecoin juga tidak luput dari kajian bi.

Aset kripto yang pada awalnya tidak memiliki dasar rujukan nilai, kini mulai bertransformasi menjadi stablecoin yang mengikatkan nilainya ke aset yang lebih stabil, seperti mata uang resmi yang dikeluarkan pemerintah. Namun pada kenyataannya, uang yang diterbitkan pemerintah sebagai acuan aset kripto di era mo dern ini tidak lagi dijamin oleh aset riil, seperti emas, sehingga risiko volatilitasnya tetap sulit dipre diksi. Artinya, keterikatan aset kripto dengan aset lain yang lebih kukuh tidak menjamin kestabilan nilainya. Hal yang sama juga terjadi pada program_keuangan yang terdesentralisasi ( decentralized finance/ defi).

Setiap token dalam paket defi menawarkan utilitas dengan fungsi yang berbeda-beda. Oleh karenanya, harga aset kripto sangat bergantung pada suntikan dana investor yang memanfaatkan uti litas tadi. Token tersebut dari sisi harga cenderung stabil karena mengacu pada masing-masing utilitas. Hanya, harga beberapa jenis token justru mengacu kembali pada harga bitcoin, alih-alih harga utilitasnya.

Oleh karenanya, apabila harga bitcoin naik, harga token itu juga akan naik berkali lipat. Intinya, risiko gejolak harga sejatinya tetap eksis. Meski stablecoin dan defi merupakan inovasi baru dari uang kripto dan memiliki peran dalam di gitalisasi mata uang, legitimasi keduanya masih menjadi pertanyaan besar. Stablecoin dan defi dikendalikan oleh perusahaan swasta sehingga tidak bisa menjadi fondasi bagi sistem pembayaran nasional.

Alhasil, bi lebih condong mengembangkan uang elektronik ( e-money ) dan qris ( quick response indonesia standard ) terlebih dahulu sebagai prakondisi dalam merilis cbdc. Di satu sisi, kedua versi ‘uang digital’ tersebut masuk dalam wilayah sistem pembayaran dan merupakan kewajiban lembaga penerbit terhadap peme gangnya. Di sisi lain, cbdc diterbitkan oleh bi dan menjadi bagian dari kewajiban moneternya._artinya, cbdc tetap menjalankan fungsi sebagaimana uang kartal (uang kertas dan uang logam). Oleh karenanya, cbdc merupakan representasi digital dari mata uang dan menjadi simbol kedaulatan negara ( sovereign currency ).

Pada titik ini, penerbitan cbdc sangat krusial karena berimplikasi tidak hanya pada sistem pembayaran tetapi juga pada sistem moneter. Dengan demikian, urgensi penerbitan cbdc tergantung pada tingkat akseptansi masyarakat da lam rangka mewujudkan masyarakat dengan sedi kit uang kas ( cashless society ). Harus diakui, investasi untuk membangun infrastruktur cbdc sangat mahal. Belum semua penduduk memiliki piranti yang mendukung penggunaan mata uang digital.

Belum lagi masalah teknis yang berhubungan dengan keandalan koneksi internet, literasi keuangan, dan tingkat ‘melek digital’-nya. Kalaupun publik bersedia menggunakan cbdc, persoalan tidak berhenti sampai di sini. Kasus uang elektronik memberi pelajaran berharga. Pemanfaatan uang elektronik berbasis kartu terbatas pada transaksi ‘kecil’.

Demikian pula, pemanfaatan qris dan uang elektronik berbasis server masih berkutat di sektor konsumsi. Alhasil, efek ekonomi dari uang elektronik dan qris sejatinya be lum sebanding dengan ongkos yang dikeluarkan. Pemanfaatan uang elektronik dan qris dalam perjanjian kredit dan pembiayaan sektor produktif lainnya niscaya akan memberikan efek pengganda yang sangat substansial bagi perekonomian nasional. Berbekal dari pengalaman di atas, penerbitan cbdc harus dirintis sejak dini agar lebih berdaya guna.

Cbdc saat ini masih menjadi opsi namun dalam jangka mene ngah-panjang, ia bukan mustahil menjadi keharusan. Era digital toh sudah mendisrupsi semua sendi ke hidupan, tidak terkecuali sektor moneter. Langkah rintisan menuju ke sana adalah memperkuat payung hukumnya. Kitab undang-undang hukum acara perdata di indonesia hingga saat ini belum memiliki konsep digital.

Konkretnya, bi perlu mengubah konsepsi hukum yang sangat fundamental, seperti mengubah tagihan dalam bentuk digital. Dari sisi nasabah, landasan hukum yang kukuh perlu diletakkan untuk membuktikan kepemilikan mata uang digital ketika terjadi kesalahan yang, misalnya, disebabkan oleh sistem. Pembuktian kepemilikan tetap dinyatakan sah meski cukup melampirkan pin da ian surat plus tanda tangan elektronik. Penguatan kelembagaan bi juga perlu memperoleh perhatian khu sus.

Pelaku ekonomi yang mempergunakan cbdc dalam transaksi harus memiliki rekening di bi. Ini berarti publik bisa langsung berhubungan dengan bi, alih-alih lewat bank umum. Dengan begitu, bi berperan ganda sebagai ‘banknya bank’ sekaligus ‘bank umum’. Lebih lanjut, penerbitan cbdc menghendaki cbdc tersedia di ruang blockchain publik, seperti bitcoin atau stablecoin.

Sementara, bitcoin atau stablecoin dikeluarkan secara privat. Oleh karenanya, bi_ harus memiliki kapabilitas untuk melindungi data pribadi na sabah sebelum cbdc rupiah diterbitkan. Ketika cbdc rupiah diedarkan, seluruh data transaksi dan per pindahan dana nasabah akan dipegang oleh bi. Volume data real time itu bisa mencapai puluhan juta per menit.

Konsekuensinya, penguatan kapasitas teknologi in formasi bi menjadi prasyarat utama guna menjamin optimalitas cbdc. Beberapa persoalan di atas –dalam tataran tertentu– masih berada dalam kendali bi sehingga bisa dikontrol. Persoalan yang lebih sulit adalah potensi efek samping yang berada di luar jangkauan bi. Penerbitan cbdc niscaya akan menggusur keberadaan semua metode pembayaran non tunai yang telah ada.

Penerbitan cbdc juga akan menyusutkan peran intermediasi perbankan. Bank umum tidak bisa leluasa menciptakan ‘uang sekunder’. Konsekuensinya, bi tidak memiliki agen dalam mengimplementasikan kebijakan moneter dan makroprudensialnya. Rentang kendali ( span of control ) menjadi tantangan yang harus diantisipasi.

Model cbdc hibrid belum mampu sepenuhnya menjadi solusi yang adil bagi bi dan bank komersial. Fungsi bi sebagai oto ritas moneter dan peran bank umum sebagai lembaga in termediasi memang bisa dipertahankan, hanya risiko perbankan mengalami kelangkaan likuiditas tetap mengancam. Kemiripan cerita juga berlaku di pasar kripto. Peluncuran cbdc bakal mengacaukan pasar uang kripto, aset kripto, stablecoin , dan defi.

Penjualan panik ( panic selling ) kemungkinan akan terjadi. Likuiditas dari platform perdagangan aset kripto pada gilirannya ter sedot menuju uang digital bank sentral. Kondisi ini seakan mengulang kembali sejarah tatkala emas dipakai sebagai bahan dasar uang. Harga emas perhiasan akan terkoreksi saat daya beli uang yang bermaterikan emas tengah melejit, sehingga emas perhiasan akan dilebur menjadi uang.

Jelasnya, atribut ‘uang’ menggugurkan predikat ‘aset’. Alhasil, cbdc diklaim menjadi salah satu risiko terbesar pa sar kripto begitu diperkenalkan nantinya mengingat potensi migrasi dari aset kripto ke cbdc. Artinya, tujuan stabilisasi yang hendak dicapai dari penerbitan cbdc justru akan memberikan efek destabilisasi pada sistem keuangan. Permasalahan di atas kian kompleks jika variabel transaksi luar negeri dimasukkan ke dalam mo del analisis.

Pasokan cbdc yang dipasok negara lain menjadi keniscayaan di negara dengan perekonomian terbuka. Aliran keluar/ masuk cbdc, lagi-lagi, akan merecoki stabilitas sistem finansial domestik. Dengan skema problematika di atas, perintisan ekosistem cbdc rupiah mensyaratkan kemampuan melihat jauh ke depan plus kecerdasan dalam mengantisipasi setiap detail probabilitas perubahannya. Namun, apabila semua isu tersebut tuntas terpetakan, cbdc ru pi ah niscaya akan menjadi tuan ru mah di negeri sendiri.


Baca Juga

0  Komentar