Restitusi untuk Korban Korupsi Dana Bantuan Sosial

Koran Tempo   Selasa, 13 April 2021

img

Restitusi untuk korban korupsi dana bantuan sosial charlie albajili pengacara publik lbh jakarta korupsi dana bantuan sosial pada masa pandemi covid-19 menimbulkan penderitaan dan kerugian langsung pada masyarakat. Upaya penegakan hukumnya harus dibarengi dengan pemulihan kerugian dan hak masyarakat. Terungkapnya praktik korupsi bantuan sosial yang menyeret nama bekas menteri sosial juliari batubara dan beberapa pejabat teras partai penguasa menjadi contoh terbaik betapa tak berperikemanusiaannya sebuah tindakan korupsi. Di tengah kemerosotan kesejahteraan masyarakat akibat pandemi covid-19, jaminan sosial yang sudah menjadi hak konstitusional masyarakat malah dirampok untuk kepentingan pribadi pejabat dan pengusaha.

Dalam korupsi pengadaan bantuan sosial bagi masyarakat yang terkena dampak covid-19 di wilayah jakarta dan sekitarnya tersebut, nilai korupsinya diduga mencapai rp 2,73 triliun. Korupsi bantuan sosial tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga memberikan penderitaan langsung kepada masyarakat. Sekitar 1,9 juta keluarga penerima manfaat di jakarta dan sekitarnya adalah yang paling dirugikan dan layak menyandang status korban tindak pidana korupsi. Data penerima bantuan bahan pokok di lapangan yang patut diduga sebagai dampak korupsi dapat memperkuat argumentasi tersebut.

Hasil audit badan pengawasan keuangan dan pembangunan (bpkp) yang dikutip majalah tempo menunjukkan, nilai bahan pokok yang diterima keluarga penerima manfaat berkurang hampir 50 persen dari nilai bahan pokok yang dianggarkan. Hasil survei indonesia corruption watch (icw) pada oktober 2020 juga menunjukkan terdapat tiga masalah yang dikeluhkan penerima bantuan sosial, yaitu kualitas bahan pokok yang buruk, kuantitas isi paket yang tidak sesuai dengan ketentuan, serta frekuensi penerimaan yang tidak rutin. Survei tersebut dilakukan terhadap 120 responden kelompok disabilitas penerima bantuan sosial di dki jakarta. Masalah tersebut sangat berdampak pada kondisi kesejahteraan mereka karena mayoritas (74 persen) di antaranya mata pencariannya terkena dampak covid-19.

Tentu sulit untuk menyangkal berbagai masalah tersebut sebagai imbas dari korupsi. Dengan dampak yang meluas tersebut, tentu kita wajib mendorong komisi pemberantasan korupsi (kpk) mengusut tuntas semua pihak yang terlibat dan memberikan tuntutan yang setimpal hingga memberikan efek jera. Namun, melihat jenis sanksi yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi, penegakan hukum pidana tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum atas pemulihan kerugian sosial dan ekonomi yang telah dialami masyarakat sebagai dampak korupsi. Dalam perspektif korupsi sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, penegakan hukum pidana terhadap koruptor oleh negara perlu disertai upaya mencegah keberulangan dan pemulihan kerugian korban, baik melalui kompensasi maupun restitusi.

Kompensasi merupakan tanggung jawab pemulihan kerugian korban oleh negara. Adapun dalam restitusi, tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pelaku. Pasal 35 konvensi anti-korupsi pbb (uncac) yang telah diratifikasi indonesia melalui undang-undang nomor 7 tahun 2006 sebenarnya telah mengamanatkan agar pemerintah menyediakan ruang bagi masyarakat yang menderita kerugian akibat korupsi untuk dapat menuntut restitusi terhadap koruptor. Upaya untuk mengadakan pengaturan itu bahkan telah tertuang dalam instruksi presiden nomor 1 tahun 2013 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013.

Namun, hingga kini, belum ada preseden ataupun ketentuan yang menjamin hak korban mendapatkan restitusi tersebut, jenis kerugian yang dapat dituntut, dan mekanisme hukum yang dapat ditempuh. Dalam laporan implementasi uncac pada 2015, beberapa negara telah mengintegrasikan ketentuan pasal 35 uncac dalam hukumnya. Belanda dan prancis, misalnya, telah memberikan penjelasan tambahan dalam ketentuan hukum acara pidananya. Dalam pasal 51a wetboek van strafvordering (wvs) di belanda dan pasal 4 code de procedure penale di prancis, korban yang mengalami kerugian langsung akibat korupsi dapat mengajukan gugatan kepada pelaku dalam pemeriksaan di peradilan pidana.

Adapun belanda, dalam pasal 36f wvs, mengatur lebih lanjut bahwa hakim secara ex officio dapat menghukum pelaku untuk mengganti kerugian korban melalui negara yang kemudian diteruskan kepada korban. Belanda juga mengatur mekanisme non-pengadilan (non-litigasi) untuk pemulihan hak korban. Belanda bahkan memperkuat posisi korban dengan menegaskan hak korban dalam pengaturan penyitaan aset bagi pelaku korupsi. Hukum acara pidana di indonesia sebenarnya mengenal mekanisme gugatan perbarengan di peradilan pidana yang diatur dalam pasal 98 kitab undang-undang hukum acara pidana sebagai mekanisme yang paling dapat diakses korban untuk menuntut restitusi kepada pelaku.

Dalam mekanisme tersebut, gugatan ganti rugi korban dapat dibarengi dengan pemeriksaan pidana sekaligus diputus dalam satu perkara. Merujuk pada peraturan pemerintah nomor 7 tahun 2018 tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan kepada saksi dan korban, upaya pengajuan perbarengan juga dapat diupayakan oleh lembaga perlindungan saksi dan korban (lpsk). Mekanisme ini lebih mungkin karena sederhana, cepat, dan berbiaya murah serta menunjukkan tanggung jawab negara dalam pemulihan hak masyarakat akibat korupsi. Hal ini sangat berbeda jika masyarakat harus menempuh gugatan perdata biasa yang biayanya dibebankan kepada masyarakat dengan proses yang panjang serta pembuktian yang dibebankan kepada masyarakat.

Dalam konteks kejahatan khusus, seperti tindak pidana terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia berat, telah ada aturan yang menjamin hak korban untuk menuntut restitusi sekaligus dalam proses penuntutan kejahatannya meski belum diterapkan dengan baik. Kerugian yang dapat diminta dalam restitusi juga dapat mencakup kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan, kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana, dan penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis. Sayangnya, jaminan serupa belum diatur bagi korban tindak pidana korupsi. Ketiadaan aturan ini patut diduga menimbulkan kebingungan bagi penegak hukum untuk mengajukan tuntutan restitusi korban terhadap koruptor.

Hingga kini, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan kpk ataupun kejaksaan belum dibarengi dengan upaya penghitungan kerugian masyarakat dan gugatan kompensasi untuk pemulihan hak korban. Masyarakat sebenarnya pernah mencoba mengajukan gugatan perbarengan di pengadilan tindak pidana korupsi kepada akil mochtar pada 2014, tapi ditolak oleh hakim pengadilan negeri jakarta pusat. Masalahnya, mekanisme pengajuan gugatan perbarengan di pengadilan korupsi oleh masyarakat belum diatur lebih lanjut, sehingga menimbulkan persoalan formil. Putusan tersebut juga menunjukkan adanya kebingungan mengenai jenis kerugian dan tuntutan yang dapat dimintakan restitusi terhadap koruptor melalui mekanisme tersebut.

Perspektif penegakan hukum tindak pidana korupsi saat ini masih didominasi pengembalian kerugian aset negara dan mengesampingkan kerugian yang dialami masyarakat. Pemulihan hak warga negara seolah-olah akan dengan sendirinya selesai ketika ada pengembalian aset negara. Terbukanya kasus korupsi bantuan sosial saat ini secara terang merugikan masyarakat dan harus dapat dijadikan momentum bagi para penegak hukum untuk membuktikan keberpihakannya pada nilai hak asasi dalam pemberantasan korupsi. Kpk dapat mulai mendata dan menghitung kerugian masyarakat agar tuntutan pidana korupsi dapat dibarengi dengan tuntutan kompensasi terhadap korban.

Kekosongan hukum yang menjamin hak serta mekanisme hukum dan bentuk kerugian korban korupsi juga menjadi akar masalah. Untuk itu, pemerintah dan lembaga yudikatif perlu membuat aturan dengan mengoptimalkan mekanisme yang paling inklusif, seperti perbarengan gugatan. Perlu ditegaskan juga kerugian yang dapat dituntut sesuai dengan karakteristik korupsi. Mahkamah agung dapat mengisi kekosongan hukum mengenai teknis pengajuan gugatan perbarengan warga dengan membuat peraturan di tingkat mahkamah agung.


Baca Juga

0  Komentar