Revisi Aturan Investasi BUMN di Pasar Modal

Investor   Jumat, 9 April 2021

img

Revisi aturan investasi bumn di pasar modal jakarta – pemerintah dan dpr perlu merevisi berbagai payung hukum agar badan usaha milik negara (bumn) dapat berinvestasi lebih optimal di pasar modal tanpa takut diperkarakan ke pengadilan jika investasinya mengalami kerugian. Aturan baru tersebut harus secara tegas, jelas, dan terperinci membedakan kerugian yang terjadi akibat kegiatan murni investasi dengan kerugian akibat kejahatan ( fraud ) dan aji mumpung ( moral hazard ). Beleid baru itu pun harus sesuai praktik yang berlaku secara internasional ( international best practices ), misalnya kerugian yang belum terealisasi ( unrealized loss ) tidak dikategorikan sebagai kejahatan. Selain itu harus ada aturan yang membolehkan direksi bumn menjual portofolio dalam posisi rugi ( cut loss ) demi mengurangi risiko kerugian yang lebih besar.

Keputusan cut loss mesti diambil atas persetujuan bulat seluruh direksi atau komisaris. Tanpa revisi payung hukum, investasi bumn di pasar modal tidak akan optimal. Padahal, bumn dituntut memberikan hasil investasi ( return ) yang maksimal. Terbatasnya investasi bumn juga akan menyebabkan pasar modal domestik mudah bergerak liar dan rawan dikendalikan investor asing.

Saat ini, kepemilikan saham oleh investor institusi domestik --sebagian besar bumn-- mencapai 38,3% dibandingkan investor ritel 13,5%. Sedangkan investor institusi asing mencapai 48,1%. Payung hukum yang perlu direvisi antara lain undang-undang (uu) nomor 19 tahun 2003 tentang bumn serta peraturan pemerintah (pp), peraturan menteri (permen), dan berbagai paraturan terkait lainnya. Meski demikian, aturan baru itu harus tetap membuka pintu kepada badan pemeriksa keuangan (bpk), komisi pemberantasan korusi (kpk), polri, dan kejaksaan agung untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penegakan hukum.

Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk risiko bisnis dan kerugian negara yang ditayangkan secara live via zoom dan streaming beritasatu.com , kamis (8/4/2021). Diskusi yang dipandu direktur pemberitaan beritasatu media holdings (bsmh) primus dorimulu itu menghadirkan direktur ekuator swarna investama hans kwee, founder & ceo finvesol consulting indonesia fendi susiyanto, serta pakar hukum bisnis dari universitas gadjah mada (ugm), paripurna p sugarda. Tulang punggung menurut direktur ekuator swarna investama, hans kwee, otoritas perlu membuat kebijakan investasi bagi investor institusi bumn. “investor institusi sangat penting bagi pertumbuhan pasar modal indonesia ke depan.

Jika tidak ada investor institusi, pasar modal akan bergerak tidak menentu,” ujar dia. Hans kwee mengungkapkan, selama ini investor intitusi bumn menjadi tulang punggung dalam industri pasar modal indonesia. Kendati pada 2020 jumlah investor ritel tumbuh sangat pesat hingga mencapai 3 juta dan transasksi investor ritel cukup dominan, investor intitusi bumn menjadi penentu pergerakan pasar. “investor ritel itu kan transasksinya cenderung jangka pendek, sedangkan institusi melihatnya untuk jangka panjang dalam berinvestasi,” tutur dia.

Data bursa efek indonesia (bei) dan kustodian sentral efek indonesia (ksei) menunjukkan, jumlah investor di pasar modal domestik hingga januari 2021 meningkat sangat pesat. Bahkan pada periode pandemi covid-19, jumlah mereka memecahkan rekor. Itu terjadi karena masyarakat cenderung terdorong untuk berinvestasi ketika menetap atau bekerja dari rumah. Berdasarkan transaksi perdagangan saham, transaksi investor ritel mendominasi, mencapai 69,5% dibandingkan investor institusi sebesar 13%.

Adapun transaski investor asing mencapai 17,5%. (lihat tabel) hans kwee menilai kepemilikan investor asing di pasar saham domestik cukup berisiko jika sewaktu-waktu mereka keluar secara masif dengan alasan indonesia tidak menarik lagi sebagai tempat investasi. Secara kepemilikan, investor institusi domestik menguasai 38,3% dibandingkan investor ritel sebesar 13%. Sedangkan kepemilikan investor asing mencapai 48,1%.

Dalam konteks inilah, kata dia, investor domestik, terutama investor institusi dengan dana besar diperlukan sebagai bumper dan penyeimbang agar pasar modal dalam negeri tetap stabil, tak mudah goyah. “jadi, investor institusi domestik ini adalah tulang punggung pasar modal indonesia yang paling kuat, terutama kalau menghadapi ancaman asing keluar,” tandas dia. Hans mengakui, bumn selama ini tak bisa maksimal menginvestasikan dananya di pasar modal. Itu terjadi karena masih adanya paradigma yang salah tentang investasi, salah satunya tentang kerugian yang belum terealisasi ( unrealized loss ) akibat fluktuasi harga saham atau portofolio lainnya.

Sebagian kalangan menganggap unrealized loss adalah kerugian negara yang sudah pasti. Tak sedikit pula yang menganggapnya memiliki tendensi kejahatan, pelanggaran pidana, bahkan korupsi. Padahal, unrealized loss bisa berubah menjadi keuntungan saat pasar bullish. Kecuali itu, unrealized loss merupakan hal biasa di pasar modal.

“kalau sop ( standard operating procedure ) sudah dijalankan, tidak masalah karena naik atau turun harga saham adalah hal yang wajar. Secara international best practices pun dianggap wajar,” tegas dia. Hans kwee mencontohkan, ketika salah satu bumn, bp jamsostek, baru-baru ini mengalami unrealized loss menyusul tekanan yang dialami pasar saham akibat pandemi covid-19, ada yang menganggapnya sebagai pelanggaran yang menyebabkan kerugian negara. “padahal, mayoritas investasinya di saham lq45.

Harusnya aman, apalagi bumn dikenal memiliki good corporate governance (gcg) yang kuat. Sepanjang sop-nya sudah dijalankan secara benar, ya bukan pelanggaran,” papar dia. Hans kwee khawatir paradigma itu kontraproduktif terhadap upaya para pemangku kepentingan dalam membesarkan pasar modal domestik. “sebab, kalau unrealized loss terus dianggap sebagai kerugian negara, bumn akan mengurangi, bahkan menarik investasinya di pasar saham.

Jika itu terjadi, pasar saham domestik akan terguncang,” ujar dia. Hal yang sama bakal terjadi di reksa dana dan pasar surat berharga negara (sbn) atau obligasi korporasi. “bila bumn menarik investasinya di obligasi, pemeritah sendiri yang akan kesulitan. Untuk menutup defisit apbn kan pemerintah menerbitkan sbn,” ucap dia.

Hans menegaskan, saat ekonomi terpuruk tahun lalu akibat pandemi, korporasi di seluruh dunia terkena dampaknya. Bahkan banyak karyawan di-phk atau dirumahkan. Akibatnya, mayoritas harga saham turun. “kalau kerugian investasi di pasar modal dilihat sebagai kerugian negara, apalagi baru bersifat unrealized loss , tentu semua pihak yang ingin berinvestasi menjadi takut.

Jadi, apabila ada pihak menjual kemudian dibeli oleh institusi pemerintah, tindakan tersebut dianggap memperkaya diri sendiri, tentu orang takut berinvestasi,” papar dia. Hans kwee mengemukakan, untuk meluruskan paradigma tersebut, otoritas perlu mengeluarkan regulasi atau sop yang mengizinkan institusi bumn melakukan cut atau melakukan kontrak derivatif untuk mengurangi kerugian tersebut. Kerugian investasi, menurut dia, tidak boleh dilihat sebagai kerugian negara, kecuali jika sop-nya dilanggar, pengawasannya lemah, atau kegiatan investasinya tidak sesuai aturan yang ada. “sebaiknya dibikin aturan yang lebih rinci, boleh masuk saham tapi kriterianya seperti apa, sehingga mereka bisa berinvestasi tanpa takut dianggap melakukan kejahatan.

Ketika terjadi cut loss , mereka bisa cut dulu dan akan membeli lagi di harga murah,” ucap dia. Bukan kerugian negara founder & ceo finvesol consulting indonesia, fendi susiyanto mengatakan, kerugian yang dialami bp jamsostek masuk kategori unrealized los s atau potensi kerugian yang belum terealisasi. “kalau masih potensi, tentu belum bisa disebut sebagai kerugian negara,” tandas dia. Menurut fendi, otoritas perlu membuat kebijakan yang membolehkan bumn, dalam batasan-batasan tertentu atau dalam periode tertentu, melakukan cut loss di pasar modal.

Tindakan c ut loss bukanlah sesuatu yang buruk jika dilakukan untuk membatasi kerugian sebagai bagian pengelolaan risiko ( risk management ). “mesti dibuat kebijakan yang bisa menoleransi tindakan cut loss, terutama untuk kegiatan trading. Kalau untuk investment tujuannya jangka panjang, sehingga bisa bertahan. Ini perlu diselesaikan, perlu dibuat kebijakan baru agar bisa cut loss ,” ujar dia.

Dia menambahkan, kepastian hukum harus diberikan kepada investor, termasuk investor institusi bumn, agar mereka bisa memaksimalkan investasinya. “investor paling tidak menyukai yang namanya uncertainty. Ketidakpastian seperti ini pun berpengaruh terhadap para emiten dan bumn. Juga memengaruhi lembaga rating.

Mereka akan melihat, apakah ada kepastian hukum untuk perusahaan-perusahaan indonesia dalam menjalankan aktivitas bisnis,” ujar dia. Paradigma tersebut, kata fendi susiyanto, harus diubah. “jika tidak, ekosistem pasar modal kita yang di- support oleh bumn atau institusi terkait, akan terganggu. Anggapan melakukan pelanggaran hanya karena terjadi unrealized loss bisa mendorong mereka mengurangi porsi saham yang diinvestasikannya.

Itu tentu bisa mengganggu pasar modal kita secara keseluruhan,” papar dia. Main aman pakar hukum bisnis dari ugm, paripurna p sugarda menjelaskan, otoritas harus segera menyelesaikan persoalan tersebut. Jika tidka segera dituntaskan, investor institusi, khususnya bumn, dikhawatirkan menarik ( pull out ) dananya dari pasar modal. Selain itu, para direksi bumn akan terdorong untuk ‘main aman’, tidak kreatif, dan tidak inovatif dalam berinvestasi.

“daripada nanti dianggap korupsi, ya sudah main aman saja. Akibatnya, kinerjanya tidak bisa maksimal, terutama dalam berinvestasi. Akibatnya pula, hasil investasinya pun tidak optimal,” kata dia. Menurut paripurna sugarda, pemerintah dan dpr perlu merevisi berbagai payung hukum agar perusahaan-perusahaan pelaat merah dapat berinvestasi lebih optimal di pasar modal, tanpa takut diperkarakan ke pengadilan jika investasinya mengalami kerugian.

“aturannya harus tegas, jelas, dan terperinci. Harus dibedakan mana kerugian yang terjadi akibat kegiatan murni investasi dengan kerugian akibat fraud dan moral hazard ,” tandas dia. Aturan hasil revisi, kata paripurna, harus sesuai international best practices , termasuk menyangkut unrealized loss dan cut loss. “keputusan cut loss , misalnya mesti diambil atas persetujuan bulat seluruh direksi atau komisaris.

Bila perlu, melibatkan pemerintah sebagai pemegang saham,” ujar dia. Paripurna mengemukakan, tanpa revisi payung hukum, investasi bumn di pasar modal tidak akan optimal karena para direksi bumn akan terus dihantui kekhawatiran dianggap korupsi jika terjadi unrealized loss. Dia menjelaskan, payung hukum yang perlu direvisi antara lain uu nomor 19 tahun 2003 tentang bumn serta pp, permen, dan berbagai paraturan terkait lainnya. “tapi ingat, aturan baru ini harus tetap membuka pintu kepada bpk, kpk, polri, dan kejaksaan agung untuk melakukan penegakan hukum,” papar dia.

Salah satu hal mendasar yang perlu diubah, menurut dia, yaitu tujuan bumn berbisnis. Bumn harus bisa berbisnis layaknya swasta. “pentingnya amendemen uu bumn antara lain untuk menempatkan bumn sebagai institusi milik negara tapi bisa berpraktik layaknya perusahaan swasta, termasuk dalam bernvestasi,” ucap dia. Setelah ada kepastian hukum, menurut paripurna, yang harus dilakukan para pemangku kepentingan adalah mengubah pola pikir ( mindset ).


Baca Juga

0  Komentar