Ancaman Predator Anak di Dunia Siber

Koran Tempo   Minggu, 30 Mei 2021

img

Ancaman predator anak di dunia siber jakarta – semenjani, seorang admin akun alter base –akun yang menampilkan sisi lain pengguna dan merahasiakan identitas—di twitter mengaku seorang kawannya pernah menjadi korban predator seks dan pe merasan seksual di internet ( online sextortion ). Kawannya itu merupakan anak di bawah umur. Bocah itu berkenalan dengan pelaku di media sosial melalui akun base. Setelah keduanya berkenalan, pelaku mengiming-iming calon korbannya dengan membelikan makanan, minuman, atau barang lain yang belum dapat dibeli oleh si anak.

Intinya, pelaku bertindak sebaik mungkin kepada calon korbannya. Setelah itu, pelaku mencoba memindahkan interaksi dengan korban ke aplikasi pesan, seperti whatsapp. Semenjani mengatakan, ketika hubungan pelaku dan korban semakin intim, korban akan diminta mengirim foto bagian intim tubuhnya yang juga memperlihatkan bagian wajah. Pelaku juga akan meminta identitas asli korban dan alamat rumah atau sekolah.

Berbekal data-data itu, pelaku lantas mengancam korban jika tidak menuruti kemauannya. Dari situ, pelaku mulai melakukan pemerasan seksual. “pelaku akan mengancam dengan apa yang dia punya, yaitu identitas korban,” kata semenjani, beberapa hari lalu. Akun alter base merupakan akun untuk berjejaring di twitter.

Akun ini “memfasilitasi” remaja untuk mencari teman bercerita, pasangan, hingga partner untuk aktivitas seksual. Menurut perempuan berusia 21 tahun ini, kebanyakan pengguna akun alter base berusia 18-21 tahun. Tapi ada pula pengguna yang berusia 15-16 tahun. Semenjani mengatakan banyak kasus seperti kawannya tersebut terjadi di dunia alter.

Namun korban memilih bungkam lantaran takut akan ancaman pelaku. Korban lainnya memilih mencari bantuan ke lembaga bantuan hukum, melapor ke polisi, serta memilih mengungkapkan kasus yang dialaminya di akun media sosialnya. “karena yang diserang itu mental korban, mereka memilih diam,” ujarnya. Ilustrasi anak menggunakan internet.

Tempo/ijar karim kondisi predator seks memeras korban dengan ancaman menyebarkan konten intimnya tidak hanya terjadi di indonesia. Kondisi serupa terjadi di berbagai negara, seperti di hong kong dan filipina. Asosiasi advokat di hong kong yang khusus menangani kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan melaporkan, sepanjang 2020, pihaknya telah menangani 133 kasus kekerasan seksual yang berbasis konten intim. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat dari tahun sebelumnya.

Pemerintah hong kong kemudian meloloskan rancangan undang-undang tentang "voyeurisme", perekaman bagian intim tanpa konsensual dan pelanggaran publikasi konten-konten tersebut. Adapun penegak hukum di filipina bersama beberapa organisasi sipil melaporkan adanya peningkatan kasus eksploitasi seksual daring yang mengincar anak-anak. Sejak 2011 hingga mei 2021, sebanyak 793 anak di filipina yang menjadi korban perdagangan seks daring berhasil diselamatkan. Sekitar 50 persen dari korban berumur 12 tahun ke bawah.

Terdapat 57 persen korban diperdagangkan oleh orang tua mereka atau keluarga hingga teman-teman dekat anggota keluarga sang korban. Liputan serentak lintas negara ini sekaligus menyambut peringatan hari anak internasional pada 1 juni besok. Liputan ini terselenggara berkat dukungan judith neilson institute dalam asian stories project dan kolaborasi dengan south china morning post , philippine center for investigative journalism, serta the korea times. Di indonesia, komisi perlindungan anak indonesia (kpai) menyatakan beberapa tahun terakhir terjadi kenaikan jumlah kasus pornografi dan kejahatan siber terhadap anak, baik anak menjadi korban kejahatan seksual daring maupun pornografi dari media sosial.

Wakil ketua kpai, rita pranawati, mengatakan modus pelaku dalam kejahatan ini bermacam-macam, seperti anak dilacurkan dan kekerasan seks di dunia maya. Rita menyebutkan kpai pernah menangani kasus kejahatan seks daring dengan pelaku berada di dalam lembaga pemasyarakatan. caranya, kata dia, pelaku membuat akun media sosial memakai foto guru dari suatu sekolah. Lalu pelaku mulai mengikuti akun media sosial murid yang menjadi incarannya. “mulai berbalas komentar.

Kirim foto, pindah ke whatsapp, terus menjadi jebakan bagi anak,” kata rita, kemarin. Ia menambahkan, pelaku kemudian meminta melakukan video call atau telepon lewat video dengan korban. Pelaku mengancam akan menyebarkan konten intim korban jika permintaan video call itu tak dituruti. “korban bahkan sampai melukai alat vitalnya atas permintaan pelaku.

Itu sebabnya kami mendorong aturan perlindungan anak di dunia siber,” ujarnya. Menurut rita, modus lain yang diketahui kpai, misalnya, pelaku berkenalan dengan korban di media sosial. Lalu pelaku mendekatinya secara intensif selama 3-6 bulan agar korban percaya ketika melakukan pertemuan dengan pelaku. Saat bertemu, korban diculik.

Lalu pelaku mencabulinya. Setelah itu, pelaku akan mengancam korban bahwa video intim mereka akan disebar jika korban melaporkan masalah tersebut. Selain itu, terdapat pula kasus anak diiming-imingi pekerjaan, tapi anak tersebut justru dilacurkan oleh pelaku. “paling muda korban kasusnya umur 12 tahun.

Mayoritas korban masih bersekolah sekitar 60 persen,” kata komisioner kpai, retno listyarti. Retno mengimbau kepada orang tua dan guru agar mengedukasi anak-anaknya untuk tidak mudah percaya kepada orang asing. Orang tua juga diminta lebih berperan sebagai teman bagi anaknya agar anak leluasa bercerita kepada orang tuanya. Data kpai menemukan pengaduan anak korban kejahatan seksual daring mencapai 112 pada 2016.

Angka itu meningkat menjadi 126 pada 2017. Adapun pengaduan pada 2018 dan 2019 sebanyak 116 orang dan 87 orang. Pada tahun lalu, angka pengaduan ke kpai mencapai 103 kasus. Angka pengaduan anak korban pornografi dari media sosial ke kpai pada 2016 mencapai 188 kasus.

Angka pengaduan ini terus turun dari 2017 hingga 2020. Tahun lalu, pengaduan yang masuk ke kpai sebanyak 91 kasus. Survei kpai tentang pemenuhan hak dan perlindungan anak selama masa pandemi covid-19 pada juni 2020 menemukan sekitar 2 persen dari total 25.164 responden anak mengaku pernah diminta mengirim foto tidak sopan kepada pihak lain. Sebanyak 1 persen anak lainnya mengaku pernah diminta membuat dan mengirimkan video tidak sopan.

Angka 3 persen jumlah responden anak yang mengalami kekerasan di dunia siber ini merupakan fenomena gunung es. Sebab, jumlahnya mencapai sekitar 750 anak dari total 25.164 responden di 34 provinsi. Kasus teranyar, kepolisian daerah metro jaya menangkap 75 orang terkait dengan prostitusi daring di dua hotel di jakarta barat pada 19 dan 20 mei lalu. Sebanyak 18 orang di antaranya merupakan anak di bawah umur.

Usia anak-anak tersebut 14-17 tahun. Polisi sudah mengintai praktik ini sejak dua pekan sebelumnya karena ada laporan masyarakat tentang adanya anak di bawah umur beraktivitas di dua hotel tersebut. Ada dua muncikari bagi 18 bocah itu, yakni berinisial ad, 27 tahun, dan ap, 24 tahun. Kedua muncikari menjual belasan anak ini lewat aplikasi michat dengan tarif rp 300-500 ribu sekali kencan.

Dalam setiap transaksi, mereka mengambil komisi rp 50-100 ribu per anak. Sisanya digunakan untuk membayar sewa kamar hotel dan kebutuhan sehari-hari anak. Kepala subdirektorat v renakta direktorat reserse kriminal umum polda metro jaya, ajun komisaris besar pujiyarto, mengatakan pelaku mencari korban melalui media sosial, seperti facebook, instagram, dan twitter. Setelah berkenalan, pelaku dan korban bertemu di tempat minum kopi atau hiburan malam.

Pelaku menawarkan pekerjaan, tapi tidak menjelaskan jenis pekerjaan tersebut. “pelaku juga menjalin hubungan pacaran dengan korban yang masih anak-anak, diajak menginap selama beberapa hari, dan korban ditawari menjadi pekerja seks,” kata pujiyarto. Tujuh dari 18 anak itu sudah dititipkan di rumah aman pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak (p2tp2a) kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Enam anak lainnya dititipkan di balai rehabilitasi sosial anak memerlukan perlindungan khusus handayani kementerian sosial.

Direktur jenderal aplikasi informatika kementerian komunikasi dan informatika, semuel abrijani pangerapan, mengatakan tren usia pengadu kepada kementerian komunikasi terkait dengan kejahatan seksual di dunia maya semakin muda. “ada anak muda, smp dan sma. Jadi, trennya semakin muda yang melapor,” katanya, selasa lalu. Salah satu bentuk kejahatan yang ditangani kementerian komunikasi adalah konten pornografi anak.

Semuel menyebutkan pihaknya bekerja sama dengan kepolisian dan interpol untuk menanggulangi masalah ini. Ia menjelaskan, dalam beberapa kasus pornografi anak, terdapat jejaring yang luas dari pelaku. Kasus seperti ini terjadi pada 2017. Ketika itu terdapat pengunggah ribuan konten pornografi anak ditemukan kepolisian.

Ternyata pengunduhnya berasal dari berbagai negara. Kemenkominfo ikut menanganinya untuk menghentikan penyebaran konten tersebut di internet. “kalau pornografi anak, kami tidak memberi ruang sedikit pun. Kami cari ke akar-akarnya,” ujar semuel..


Baca Juga

0  Komentar